Perempuan merupakan manusia paripurna dan utuh sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang dikaruniai akal dan budi. Namun, kemanusiaan perempuan dalam kebudayaan tertentu, berubah menjadi setengah manusia (sementara manusia utuh dilabelkan pada laki-laki, perempuan adalah objek atau kelas dua –second sex istilah Simone de Beauvoir-). Label sebagai manusia kelas dua tersebut, berimplikasi pada kehadiran dan akses perempuan dalam ranah publik, terutama yang berkaitan dengan aspek politik. Aspek politik tentang isu perempuan sebagai pemimpin selalu menjadi polemik.
Geopolitik Indonesia, seharusnya “ramah” terhadap kepemimpinan perempuan. Sejarah Indonesia telah mencatat beberapa nama pemimpin perempuan, baik dalam singgasana kerajaan, ataupun angkatan perang, dari Kalingga hingga Islam. Sebut saja ada Ratu Shima (kerajaan Kalingga), Ratu Kalinyamat (Demak), maharatu Pramodhawardani (kerajaan Medang), ratu Tribuana Tunggadewi (Majapahit), Ratu Suhita (Majapahit), Laksamana Malahayati (Aceh), Sultanah Safiatuddin (Aceh), Sultanah Malika Nahrasyiah (Samudra Pasai), cut Nyak Dien (Aceh), cut Nyak Meutia (Aceh), Martha Cristina Tiahahu (Maluku), dan lain sebagainya
Deretan perempuan berkuasa tersebut telah mencetak karya warisan baik materiil maupun inmateriil. Warisan inmateriil seperti sikap toleransi, ramah, suka gotong royong, yang kemudian hari disebut menjadi identitas orang Indonesia. Sementara warisan materiil berupa candi, wihara, kelenteng, masjid, bendungan, gorong-gorong, ataupun kanal.
Hikayat Ratu Shima sebagai ratu yang adil di bumi Nusantara telah menjadi fakta sejarah bahwa perempuan di masa abad ketujuh (611-732 M) sudah mampu memimpin dengan baik. Keadilan dan toleransi sang ratu yang berkuasa pada masa kerajaan Kalingga yang terletak di Utara pantai Jawa Tengah, sekarang Jepara, menjadi fakta sejarah yang tak terbantahkan. Kepemimpinan ratu Shima mampu membawa kerajaan Kalingga pada puncak kejayaan. Di samping itu, dari ratu Shima telah melahirkan raja-raja besar di Jawa.
Selain itu, historis tentang penakluk Nusantara pada masa Majapahit yang dipimpin oleh Ratu Tribuana Tunggadewi sebagai inisiator dan konseptor, yang kemudian dieksekusi oleh Patih Gajahmada. Bukankah generasi selanjutnya sangat mengagungkan dan mencita-citakan kejayaan Majapahit atas Nusantara saat itu untuk dapat diulang kembali kejayaannya? Apabila dijabarkan detail bahwa inisiator dan konseptor dalam penyatuan Nusantara melalui perjanjian Mandala adalah seorang ratu (perempuan), masihkan kapasitas dan kualitas perempuan masih diragukan?
Sebagai bangsa yang memiliki titisan darah pemimpin-pemimpin perempuan, membahas kembali mengenai perempuan menjadi pemimpin haruslah tidak tabu dalam perkembangan abad 21 M, terutama manakala muncul kembali wacana perempuan menjadi pemimpin -baca presiden-.
Sebagai negara dengan penduduk Islam terbesar di Indonesia, diskursus perempuan sebagai pemimpin mengalami kejumudan, tidak kunjung mencair. Pengangkatan perempuan sebagai pemimpin diyakini sebagian umat Islam sebuah pilihan yang tidak tepat dan bahkan menyebabkan kehancuran. Hal itu disebabkan ada pandangan kuat bahwa ada hadis yang melarang serta lelaki memiliki kodrat sebagai pemimpin sebagaimana Surat an-Nisa ayat 34.
اَلرِّجَالُ قَوَّامُوْنَ عَلَى النِّسَاۤءِ بِمَا فَضَّلَ اللّٰهُ بَعْضَهُمْ عَلٰى بَعْضٍ وَّبِمَآ اَنْفَقُوْا مِنْ اَمْوَالِهِمْ ۗ فَالصّٰلِحٰتُ قٰنِتٰتٌ حٰفِظٰتٌ لِّلْغَيْبِ بِمَاحَفِظَ اللّٰهُ ۗوَالّٰتِيْ تَخَافُوْنَ نُشُوْزَهُنَّ فَعِظُوْهُنَّ وَاهْجُرُوْهُنَّ فِى الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوْهُنَّ ۚ فَاِنْ اَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوْا عَلَيْهِنَّ سَبِيْلًا ۗاِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيْرًا
“Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari hartanya…”
Istilah qawwam yang bermakna “pelindung” dalam Al-Qur’an Terjemahan Syamil Quran, digeneralisasi sebagai ayat yang menjustifikasi bahwa lelaki memiliki kodrat menjadi pemimpin. Hal tersebut tidaklah tepat. Padahal, manakala menelisik lebih jauh, maka akan ditemukan bahwa qawwam dalam konteks ayat tersebut merujuk pada ranah rumah tangga.
Apabila kodrat lelaki adalah memimpin dan sebagai pemimpin, tentu kita tidak akan menjumpai sebuah kerajaan Saba’ (2000-8 SM) yang pernah dipimpin oleh perempuan yang dinarasikan dan mendapat pujian oleh Al-Qur’an, maka perlu membaca dan merenungkan hakikat surat Saba’ ayat 15.
لَقَدْ كَانَ لِسَبَاٍ فِيْ مَسْكَنِهِمْ اٰيَةٌ ۚجَنَّتٰنِ عَنْ يَّمِيْنٍ وَّشِمَالٍ ەۗ كُلُوْا مِنْ رِّزْقِ رَبِّكُمْ وَاشْكُرُوْا لَهٗ ۗبَلْدَةٌ طَيِّبَةٌ وَّرَبٌّ غَفُوْرٌ
“Sungguh, bagi kaum Saba’ ada tanda (kebesaran Tuhan) di tempat kediaman mereka yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri, (kepada mereka dikatakan), Makanlah olehmu dari rezeki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik (nyaman) sedang (Tuhanmu) adalah Tuhan Yang Maha Pengampun.
Bersambung…