Humanisme memiliki pengertian orang yang mendambakan dan memperjuangkan terwujudnya pergaulan hidup yang lebih baik, berdasarkan asas perikemanusiaan, pengabdian untuk kepentingan sesama umat manusia.
Namun disadari atau tidak, pemahaman tentang menempatkan manusia sebagai objek terpenting kini terus dipolarisasi (dipisahkan) oleh kelompok-kelompok yang memiliki ambisi-ambisi dalam hal politik praktis dan kepentingan pribadi ataupun golongannya.
Di dalam artikel Salahudin Al-Ayubi mengungkapkan bahwa menghargai manusia sesuai kodratnya adalah sebuah pikiran terbuka lantaran memahami esensi dari pendidikan humanisme. Tetapi diruntut lebih dalam, Indonesia merupakan negara yang multikultural “beragam” dalam hal suku, ras, agama, dan budaya.
Dengan demikian, selain memahami tentang keterbukaan diri terhadap pendidikan humanisme dan pancasila, harusnya Salahudin Al-Ayubi memasukan atau mempertanyakan kurikulum moderasi beragama untuk diterapkan pada sekolah atau madrasah di seluruh Indonesia. Hal ini bertujuan untuk membentuk sikap peserta didik hingga guru yang jauh lebih moderat.
Moderat dan Pendidikan Anti-Radikalisme
Moderasi beragama adalah cara pandang dalam hal beragama, bersikap moderat (Wasathy) yakni untuk mengamalkan ajaran agama secara kaffah, tidak ekstrem ke kanan maupun ke kiri, serta menghargai setiap umat beragama yang berbeda-beda.
Di berbagai pemberitaan media, kasus intoleran di sekolah atau madrasah kerap kali membuat resah kehidupan yang harmonis di negara ini. Misal saja kasus intoleran seorang kepala sekolah di SMKN Padang. Di mana Wakil Kepala Kesiswaan mewajibkan semua siswa untuk memakai hijab, termasuk pula siswa non-muslim. (Tribun Jateng, 2021)
Satu kasus saja di atas dapat menjadi contoh bahwa Indonesia belumlah aman dari paham-paham terlarang tersebut. Adapun bukti yang lain adalah dengan hadirnya materi pendidikan anti radikalisme dalam beberapa mata kuliah ataupun seminar di kampus-kampus.
Mengapa oleh penulis katakan demikian, ringan saja membahasnya. Jika Indonesia sudah bebas dari paham-paham ekstrem seperti radikalisme, ekstremisme, dan liberalisme, pastinya materi seputar pendidikan anti radikalisme tak dicanangkan oleh pemerintah atau pun instansi terkait bukan?
Pluralisme Tanpa Batas
Menghormati manusia berarti menghormati penciptanya, dan memuliakan manusia lain juga memuliakan penciptanya. Bukankah itu yang dikatakan oleh Guru Bangsa, Gus Dur. Di sisi lain bangsa Indonesia terbentuk atas asas keberagaman dalam hal suku, adat, ras, agama yang berbeda dari zaman dahulu.
Di sekolah-sekolah pendidikan tentang Islam yang moderat haruslah dimasifkan lewat program-program kajian, pembelajaran, dan terapan “contoh” oleh guru dan peserta didik di lingkungan satuan pendidikan. Hal ini untuk merangsang kepemahaman guru agar terhindar dari paham-paham ekstrem.
Bukan hanya lewat pendidikan anti radikalisme ataupun kurikulum serupa yang hanya berisi dogma-dogma untuk memahami ciri-ciri pemikiran individu ataupun kelompok yang menyimpang. Namun ajakan dalam hal pengimplementasian seputar nilai-nilai toleransi haruslah digalakkan sejak dini oleh guru kepada para peserta didiknya. Hal ini agar tidak hanya terjadi ketimpangan di dalam hal-hal dasar, yang sering ditemui mencari pembenaran dalam diri seseorang meliputi sukunya, adatnya, budayanya, ataupun agamanya.
Seperti contoh saat kita mengucapkan “marilah kita beribadah dengan keyakinan masing-masing”. Tetapi menariknya, di dalam kalimat ini sering disusupi dengan kalimat lain. Seperti “agamakulah yang paling benar.”
Pendidikan toleransi harus pula mencapai sendi yang terdalam di dan ke semua orang, terlebih guru dan peserta didik haruslah mencari kebenaran yang hakiki (sejati). Bukan malah hanya mencari pembenaran untuk dirinya sendiri sehingga akan terjadi kasus diskriminasi hingga yang sering terjadi adalah intoleran.
Akhir kata, jika kita telusuri lebih rinci, di dalam Al-Qur’an tak ada kata tentang “Darul Islam” (negara Islam), melainkan yang ada hanyalah “Darus Salam” (negeri yang damai). Atau yang lebih kita kenal dengan Baldatun Thoyyibatun wa Rabbun Ghafur, yang memiliki makna negeri yang baik dan penuh dengan pengampunan dari sang Tuhan. Dengan tercapainya negeri yang demikian kita akan dapat mengimplementasikan nilai-nilai moderasi beragama di dalam tatanan hidup kenegaraan dan kebangsaan sejak dini.