Islamina.id – Dār al-Islām terdiri dari dua suku kata, yaitu Dār dan Islām. Kata Dār bermula dari kata dasar Dāra, yadūru, dawran, makna kata kerjanya adalah berputar, berkeliling, menyesuaikan. Atau jika diubah dengan bentuk tadawwara, bermakna menjadikan bulat. Kemudian jika berubah menjadi Dāran dengan bentuk pluralnya ad-Diyār bermakna rumah, Negara, wilayah, dan bermakna untuk menyebut dunia atau akhirat.
Adapun makna asalnya, kata yang tersusun dari huruf dal, waw, ra’ menurut Ibnu Faris memiliki makna dasar ihdaqu as-Syai’ bi as-Syayyii min haulihi, berkelilingnya sesuatu dengan sesuatu dari keadaannya semula. Oleh sebab itu, zaman atau ad-Dahru juga disebut dengan ad-Dawariyyu karena mengitari keadaan manusia. Begitu juga, orang-orang Arab terkadang menyebut Ka’bah dengan nama ad-Duwwâr karena dikelilingi oleh manusia.
Secara istilah, kata Dār ini diberikan ulasan sebagai suatu tempat yang di dalamnya terdapat halaman dan bangunan. Definisi ini jika digunakan untuk menyebut rumah. Tetapi lain lagi jika digunakan untuk menggambarkan suatu wilayah atau Negara. Seperti dalam istilah kitab-kitab Fiqih, yang disebut sebagai Dār al-Islām adalah suatu Negara yang dikuasai oleh orang-orang muslim, yang aman dan diterapkan sistem islami.
Istilah Dār al-Islām dan Dār as-Salām
Beragamnya makna kata “Dār” ini juga terjadi dalam nash Hadits maupun Al-Qur’an, seperti turunan dari kata Dār yang ada di dalam hadits, alā unabbiukum bi khoiri duwari anshar? “Tidakkah aku telah menceritakan tentang kebaikan kelompok Anshar?” Kata duwar dalam hadits tersebut bermakna qabilah atau kelompok.
Namun dalam redaksi hadits lain, dikatakan dengan bentuk ad-Dâri yang bermakna penjual minyak atau al-‘Atthâr. Teks haditsnya, matsalu al-Jalis as-Shalih kamatsali ad-Dari in lam yuhdzika min ‘ithrihi ‘aliqaka min rihihi. “Duduk bersama orang shalih itu ibarat duduk bersama penjual minyak. Meskipun ia tidak mengoleskan minyaknya kepadamu, tetapi bau harumnya tetap menjalar kepadamu.”
Dalam Al-Qur’an kata Dār, disebutkan dengan bentuk ad-Dār, ad-Diyār, Dairah, Tudīrū, yang semuanya sebanyak 55 kali. Masing-masing turunan kata yang disebutkan memiliki makna tersendiri. Ada yang bermakna tempat tinggal, kota, surga, dan neraka.
Baca juga: Islam: Orde Lama, Orde Baru dan Orde Reformasi (2)
Sedangkan kata al-Islām ataupun as-Salām, masing-masing berasal dari dasar kata yang sama, yaitu dari kata salima, yaslamu, salman. Bentuk masdarnya bisa Salamun atau as-Salam maupun as-Salâm dengan menggunakan mad setelah lam. Maknanya pun beragam di antaranya: damai, sejahtera, hormat, tunduk, berserah, dll.
Misalnya, dalam Al-Qur’an terdapat ayat, wa in janahu li as-salmi, “Tetapi jika mereka condong pada perdamaian,” (QS. Al-Anfal 61). Jadi, kata li as-salmi dalam ayat tersebut bermakna as-Ṣulḥu atau damai. Makna tersebut juga bisa terjadi pada turunannya yang lain. Seperti yang terjadi pada kata “Dār as-Salām” yang ada di dalam surah Yunus ayat 25.
Menurut Ibnu Faris, kata yang terdiri dari huruf sin, lam, dan mim makna globalnya adalah sehat, dan selamat. Bisa juga bermakna sesuatu yang sangat. Allah disebut juga dengan gelar as-Salâm karena bebas dari segala hal yang melingkupi makhluk, mulai dari cacat, kekurangan maupun fana’.
Dalam Al-Qur’an, akar kata salima disebut sebanyak 139 kali, dengan beragam bentuk turunannya. Namun, masing-masing bisa dipetakan maknanya. Ada yang bermakna Allah, baik, pujian, keselamatan atau damai, dan penghormatan.
Jika digabungkan dengan kata sebelumnya, yakni Dār as-Salām maupun Dār al-Islām, ada beberapa tawaran makna dari para ulama. Jika merujuk pada terjemahan Al-Qur’an Kemenag tahun 2020, kata Dâr as-Salam yang ada di dalam surah Yunus diartikan dengan surga. Begitu juga dalam Tafsir Jalalain juga diberikan makna surga.
Baca juga: Misi Islam: Mengajarkan Perdamaian bukan Permusuhan
Penggunaan Istilah Dār al-Islām dan Dār as-Salām dalam literatur Klasik
Untuk kata Dār al-Islām sendiri tidak terdapat di dalam Al-Qur’an. Hanya saja, kata tersebut populer di beberapa kitab-kitab klasik. Misalnya dalam kitab klasik Fiqih, istilah Dār al-Islām digunakan sebagai pembagian wilayah perbandingan dari Dār al-Harb (wilayah perang). Dalam kitab-kitab Fiqih, Dār al-Islām diberikan definisi sebagai suatu Negara yang dikuasai oleh orang-orang muslim yang aman dan diberlakukan hukum Islam.
Di antara ulama yang memberikan definisi seperti itu adalah, Syekh Said Ramadhan al-Buthi dalam salah satu karyanya, “Al-Jihad fi al-Islam,” bahwa yang dimaksud Dâr al-Islâm adalah negeri yang masyarakatnya hidup secara islami, yang menerapkan syariat, mulai dari yang berkaitan dengan muaammalah (perdata) maupun pidana, dll.