“During the month of Ramadhan in 610 C.E., an Arab businessman had an experience that changed the history of the world,” kata Karen Amstrong dalam Islam: a Short History. Yang dimaksud Karen Amstrong adalah peristiwa di Gua Hira, yaitu pada bulan Ramadan untuk pertama kali Nabi Muhammad SAW menerima wahyu dari Allah SWT. Tanda bahwa Allah telah menurunkan Islam sebagai agama yang menerangi umat manusia. Peristiwa yang oleh Muslim dikenang sebagai malam Nuzul al-Qur’an (malam turunnya al-Qur’an).
Abdul Karim dalam Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, menjelaskan bahwa kehidupan masyarakat Arab pra-Rasulullah sangatlah kacau. Peradaban yang tengah tenggelam dalam kebodohan. Kala itu, perempuan seperti barang dagangan, serta kerap terjadi pembunuhan anak (perempuan). Dan, juga terlalu mengutamakan fanatisme kabilah, sehingga rentan menimbulkan peperangan. Dikatakan bahwa masa itu merupakan era kejahiliaan. Kekacauan peradaban kala itu tidak hanya terjadi di Arab, namun juga melanda peradaban lain entah di Barat maupun Timur.
Melihat kondisi masyarakat yang semakin kacau, Muhammad selalu gelisah, sehingga banyak melakukan perenungan di Gua Hira. Dalam kegelisahan, Muhammad banyak berdoa, berpuasa, dan membantu orang miskin. Hingga, dalam kesendiriannya di Gua Hira, Allah menurunkan wahyu kepadanya sebagai petunjuk yang akan menyinari peradaban manusia.
Di tengah kondisi masyarakat Arab yang jauh dari sinar tauhid, tenggelam dalam arus kebohongan dan kebodohan, kehadiran rasul yang membawa risalah rahmatan lil’alamin jelas sangat penting.
Dalam proses menjalankan misi kenabian, kehidupan Nabi Muhammad dapat dibagi menjadi dua periode, yaitu periode Makkah dan Madinah. Pada periode Makkah, dakwah Nabi ditekankan dalam upaya penanaman dasar keimanan, dan pada periode Madinah Nabi telah meletakkan dasar kemasyarakatan Islam. Sehingga, sebagaimana menurut M. Abdul Karim, dapat dikatakan bahwa permulaan peradaban Islam dimulai pada periode Nabi di Madinah. Meski begitu, pada periode Makkah, Nabi setidaknya telah merintis dasar peradaban Islam, seperti larangan mencampuri harta anak yatim, kewajiban untuk memberikan infak kepada kerabat, dan mulai diwajibkan zakat sebagai perbuatan yang mengandung keberkahan.
Di Madinah, Nabi Muhammad membangun tatanan masyarakat yang disebut ummah, dengan didasarkan pada perjanjian yang dinamai sebagai Piagam Madinah. Piagam Madinah tidak hanya mengayomi umat Muslim, Muhajirin dan Anshar, namun juga non-Muslim, Yahudi dan Nasrani. Tatanan kehidupan Nabi di Madinah, sebagaimana dijelaskan Karen Amstrong, merupakan the pattern of the perfect Muslim society (bentuk masyarakat Muslim yang sempurna).
Dalam mengatur kehidupan ummah, Nabi memberi kemerdekaan individu, kebebasan beragama, hak sebagai warga sosial dan negara, dengan kedaulatan di tangan Allah serta Muhammad selain sebagai rasul juga berkuasa penuh sebagai kepala negara.
Kekuatan Ummah: Emansipasi Perempuan dan Kemajuan Ekonomi
Ketika Nabi Muhammad SAW sampai di Madinah, aksi pertama Nabi dalam menghimpun ummah adalah mendirikan masjid sederhana. Masjid yang didirikan Nabi tidak sekadar sebagai tempat ibadah, melainkan juga menjadi tempat yang mempersatukan umat Islam yang terdiri dari berbagai suku (kabilah). Selain itu, Nabi juga mempersaudarakan setiap Muhajirin dan Anshar, sehingga semakin menciptakan hubungan yang harmonis atas landasan ikatan agama. Untuk hubungan dengan non-Muslim, Nabi menjamin kebebasan beragama non-Muslim (kaum Yahudi dari Bani Nadir dan Quraizah).
Jika sebelumnya masyarakat Arab dengan fanatisme kabilah memiliki riwayat peperangan antar kabilah yang panjang, pada peradaban Islam era Rasulullah semua Muslim (bahkan dengan non-Muslim) hidup rukun dalam cinta kasih. Kehadiran Muhammad sebagai rasul telah mengubah wajah tanah Arab yang angker, banyak pertumpahan darah, menjadi tempat yang lebih damai.
Persoalan keadaan perempuan yang sebelumnya tidak punya status kemerdekaan diri, maka emansipasi perempuan merupakan satu tujuan utama dalam diri Nabi SAW. Ia jelas memperjuangkan kemerdekaan perempuan. Tidak seperti pada masyarakat Arab pra-Islam, di mana banyak perempuan yang statusnya hanya seperti barang dagangan di pasar, pada masa Rasulullah, sebagaimana dijelaskan Karen Amstrong bahwa: “The women of the first ummah in Medina took full part in its public life… (para perempuan dari generasi ummah pertama di Madinah mengambil (mendapat) bagian penuh dalam kehidupan publiknya).” Berkat perjuangan Nabi, perempuan menjadi manusia merdeka yang mendapatkan hak kehidupan lebih baik.
Mengenai pembunuhan bayi (perempuan) yang menjadi kebiasaan beberapa suku pada masyarakat Arab pra-Islam, pada masa Rasulullah telah ditinggal. Firman Allah SWT: “Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut miskin. Kamilah yang memberi rezeki kepada mereka dan kepadamu. Membunuh mereka itu sungguh suatu dosa yang besar.” (Q.S. Al-Isra’ [17]: 31).
Selain itu, pada masyarakat Arab pra-Islam kemajuan ekonomi belum dilandasi semangat kejujuran, keadilan, dan kemanusiaan, yang mana banyak dimonopoli oleh kelompok tertentu, sehingga malah memunculkan kesenjangan ekonomi yang tinggi. Pada masa Rasulullah, sebagaimana dijelaskan M. Abdul Karim dalam Ekonomi Islam: Sejarah Kebijakan pada Masa Awal Islam, bahwa ekonomi Islam dibangun berlandaskan komitmen yang tinggi terhadap etika dan norma serta perhatian utamanya dicurahkan untuk keadilan dan pemerataan kesejahteraan.
Semangat peradaban yang dibangun oleh Nabi tidak individualistik, namun adalah semangat ummah, yang dalam ekonomi Islam tergambar di antaranya pada zakat dan sedekah. Jadi, peradaban Islam yang dibangun oleh Rasulullah memiliki semangat kemanusiaan.
Kehadiran Nabi Muhammad membawa peradaban kehidupan manusia menjadi lebih baik. Sebagaimana tujuan diutusnya Nabi Muhammad adalah sebagai rahmat bagi seluruh alam.
Baca Juga: Misi Islam: Mengajarkan Perdamaian bukan Permusuhan