“Dari perempuan bercadar, stigma yang dirasakan ketika ada perempuan aktivis kemanusiaan/toleransi seperti Rosi dan Kak Nun, cenderung menganggap mereka tidak kaffah dalam beragama. Mereka dianggap mengenakan cadar hanya sebagai fashion saja, bukan semata-mata taat terhadap perintah agama dalam versi penafsiran mereka.”
Salah satu seorang kawan perempuan saya ada yang bernama Rosi. Ia terlihat anggun berparas cantik. Kecantikannya hanya bisa dipandangi oleh kawannya sesama perempuan. Setiap keluar kamar kosannya, Rosi mengenakan selembar kain penutup wajah (sejak pandemi, ia menggantinya dengan masker), sehingga yang terlihat hanya sepasang mata yang elok.
Iya, Rosi perempuan bercadar. Satu-satunya perempuan bercadar di prodi Studi Agama-agama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta angkatan 2019. Lebih dari itu, ia perempuan yang unik.
Beda halnya dengan perempuan bercadar lain, Rosi membuka diri dengan kehadiran kawan laki-laki di kampus. Bahkan, ia aktif berorganisasi baik internal maupun eksternal. Ia tak masalah bertemu dengan pria saat rapat, saat di kelas, maupun saat di momen-momen lain. Ia bahkan saat ini menjabat sebagai wakil ketua Senat Mahasiswa Fakultas Ushuluddin.
Dari semua cerita tentang Rosi, yang membuat saya kagum adalah: selain ia membuka diri terhadap orang lain yang berbeda di sekelilingnya, ia juga membuka diri terhadap keberadaan kelompok agama yang berbeda dengan apa yang diyakininya.
Sejauh pengalaman saya bertemu dengan perempuan bercadar, mereka cenderung menutup diri terhadap keberadaan orang lain yang berbeda, baik itu seagama maupun berbeda agama. Tertutup sekali. Bila tidak dengan mahram ataupun satu gender, mereka jarang mau berinteraksi.
Selain Rosi, di media sosial saya juga mengenal kak Nun Jamilah. Aktivis perempuan yang bergerak di berbagai isu strategis: kemanusiaan, toleransi, dan isu seputar perempuan.
Rosi dan kak Nun, dua perempuan bercadar yang benar-benar mengubah perspektif saya tentang cadar. Ternyata, cadar hanyalah produk budaya seperti halnya sarung, peci hitam, kebaya, dan yang lainnya. Memakainya bukan jadi jaminan seseorang saleh/salehah, juga bukan jadi jaminan sepenuhnya apakah pemikirannya radikal bahkan teroris atau bukan. Semua itu kembali lagi pada tiap-tiap individu.
Stop Stigma
Diakui atau tidak, stigma kebanyakan orang terhadap perempuan bercadar memang cenderung buruk. Mulai dari sisi yang segolongan (sama-sama bercadar) maupun tidak segolongan (bukan perempuan bercadar).
Dari perempuan bercadar, stigma yang dirasakan ketika ada perempuan aktivis kemanusiaan/toleransi seperti Rosi dan Kak Nun, cenderung menganggap mereka tidak kaffah dalam beragama. Mereka dianggap mengenakan cadar hanya sebagai fashion saja, bukan semata-mata taat terhadap perintah agama dalam versi penafsiran mereka.
Sedangkan dari versi yang tidak bercadar, sebagian dari mereka cenderung menstigma negatif perempuan bercadar tetap sebagai sosok yang radikal. Meskipun dia aktivis yang toleran sekalipun. Para perempuan bercadar ini dianggap tidak nasionalis sepenuhnya, karena masih mengenakan atribut budaya asing. Padahal kita sendiri belum tentu terbebas dari atribut budaya asing.
Stigma dua arah itu betul-betul memberatkan beban mereka. Belum lagi, ada sebagian pengalaman yang membuat beberapa dari mereka memutuskan untuk bercadar. Misalnya, pelecehan.
Pelecehan bisa terjadi kepada siapa saja, di mana saja, dan kapan saja. Bisa juga dilakukan dengan hanya lirikan mata. Saya mengenal Caca, perempuan bercadar yang jadi kawan saya di medsos. Ia mengenakannya lantaran takut dengan tatapan orang. Berkali-kali di angkutan umum, ia dilecehkan pria dengan melihat lekuk tubuhnya hingga wajahnya. Bahkan secara terang-terangan, ada pria tak dikenal yang mengajaknya berhubungan seksual.
Risih, tentu saja. Tapi semenjak bercadar dan berpakaian agak longgar, ia merasa jauh lebih aman dan nyaman dibanding sebelumnya. Meskipun dia paham betul bahwa semua itu hanya kebetulan, pakaian tidak pernah menjamin kita terbebas dari pelecehan.
Dari setidaknya tiga kisah sosok bercadar di atas, dapat disimpulkan bahwa motivasi orang bercadar memang beraneka macam. Ada yang memang murni ia mengikuti perintah agama sesuai pengetahuan dirinya, terpaksa karena suatu keadaan, bahkan ikut trend fashion terkini.
Soal radikal atau tidak radikal, bukan jaminan bercadar atau tidak bercadarnya seseorang. Hal itu lebih pada pola pikir, inklusifitas, dan seberapa banyak literatur keagamaan yang ia baca. Radikal juga tidak bisa diidentikkan dengan cadar sebagai tolok ukur, tapi ada pada perbuatan, pemikiran, dan pemahaman seseorang. Sekali lagi, bukan pada atribut yang dikenakan. Stop stigma terhadap perempuan bercadar. Apa mungkin ini hanya ada di Indonesia?
Baca Juga: Hijab Bukan Kewajiban Islam