Liberalisme bagi beberapa orang—atau barangkali sebagian besar—umat Islam kurang diperkenankan. Ini karena liberalisme bermuasal dari Barat, yaitu Eropa dan Amerika. Dua benua ini dalam rentang sejarah umat manusia telah menorehkan catatan hitam, yaitu penjajahan. Penjajahan tersebut menurut sebagian pakar masih berlangsung hingga sekarang, namun dengan bentuk halus, yaitu penjajagan budaya, politik, ekonomi dan peradaban. Liberalisme adalah salah satu strategi mereka dalam melancarkan penjajahan.
Sebenarnya, tujuan utama liberalisme ialah menjadi basis bagi tatanan kehidupan yang menomorsatukan kebebasan dan kemerdekaan. Ini cukup beralasan, karena jauh sebelum paruh kedua abad 20, manusia entah Barat atau Timur, diliputi oleh penjajahan. Sebelum menjadi penjajah dunia, Barat pun dijajah oleh elit-elitnya sendiri.
Selain itu, mereka berperang satu sama lain. Usai itu, mereka tampil sebagai penjajah dunia, yakni Asia, Afrika dan Australia. Kendati pun tujuan liberalisme ialah kemerdekaan dan kebebasan, para pembawa gagasan ini dari kalangan muslim membuat gagasan tersebut bertabrakan dengan doktrin-doktrin mapan dalam Islam.
Tak heran, jikalau penjajahan Barat dinilai masih berlangsung. Salah satunya melalui gagasan tersebut. Apalagi, dominasi Barat masih berlanjut hingga kini. Tentu saja, liberalisme tidak akan lepas dari dominasi yang ditancapkan oleh kawasan yang satu ini.
Sebagai bukti, beberapa pemikiran liberal menggetarkan doktrin-doktrin Islam yang sudah mapan, seperti tiadanya kewajiban berhijab seperti pernah dipopulerkan oleh Ulil Abshar Abdalla, al-Qur’an terperangkap budaya Arab seperti dikoarkan oleh Nasr Hamid Abu Zayd, pemikir Mesir dan Aksin Wijaya, rukun Islam ada tiga, bukan lima seperti yang dicetuskan oleh Muhammad Syahrur, pemikir Damaskus dan masih banyak lagi.
Dari sekian contoh tersebut, kesan yang membekas tentang liberalisme paling tidak bisa dikerucutkan pada dua hal. Pertama, liberalisme adalah pemikiran yang kebarat-baratan. Kedua, liberalisme menggoyahkan ajaran yang sudah mapan.
Tulisan ini akan menunjukkan bahwa ada sisi-sisi kebenaran dari liberalisme yang sebenarnya senafas dengan ajaran Islam. Satu hal dari liberalisme yang patut diapresiasi, yaitu tradisi kritik. Memang dalam prakteknya, kritik tersebut diarahkan untuk mengguncang kemapanan beberapa doktrin. Orientasi demikian tidak perlu kita terapkan. Cukup kita apresiasi tradisi kritiknya. Selain itu, secara etimologis, liberalisme berasal dari kata liberal yang berarti bebas. Dua poin ini (kritik dan bebas) akan penulis urai lebih lanjut.
Pertama, selama ini kita cenderung menerima warisan keilmuan ulama masa silam apa adanya, tanpa perenungan kritis-kreatif. Kritis berarti mempertanyakan keabsahan dan relevansinya dengan masa kini. Kreatif berarti mengembangkannya lebih lanjut. Selama ini, pengembangan warisan salaf terbatas pada ranah tampilan, belum menyentuh isi. Yang diperbaharui hanya cara menyajikannya, bukan isi pemikiran mereka.
Kritis sejatinya senafas dengan pentingnya ittiba’ dalam terminologi Ushul Fiqih. Ittiba’ adalah berislam dengan mengetahui alasan dan landasan dari keislaman kita. Tidak sedikit mereka yang berislam, namun ikut-ikutan (taqlid). Alasan dan landasan di balik keislamannya masih tanda tanya. Liberalisme mendorong kita melacak secara ilmiah dan bisa dipertanggungjawabkan tentang alasan dan landasan keislaman kita. Proyek ini tidak cukup dengan berpijak pada warisan salaf, mengingat zaman terus berkembang dan temuan ilmiah terus berdatangan.
Jika hanya berpangku pada warisan salaf, maka keislaman kita bisa diombang-ambingkan arus zaman. Contoh, dalam membela kesucian al-Qur’an dari budaya Arab, kita tidak cukup berlandaskan argumen salaf, karena argumen mereka hanya berkutat pada keistimewaan al-Qur’an, namun tidak memberi serangan akurat terhadap sisi-sisi yang dibidik oleh pemikiran liberal.
Kritik sesuai dengan pesan Imam al-Ghazali, “Keraguanlah yang menyampaikan pada kebenaran. Dia yang tidak pernah meragukan, berarti tidak pernah bernalar. Dia yang tidak pernah bernalar, berarti tidak pernah melihat. Dia yang tidak pernah melihat, akan tetap dalam kesesatan dan kebutaan.”
Adapun kreatif sesuai dengan konsep tajdīd seperti pesan Nabi tentang datangnya pembaharu agama setiap satu abad. Alm. K.H. Maimun Zubair dalam karya beliau, “Al-‘Ulama’ al-Mujaddidun wa Majal Tadrisihim wa Ijtihadihim” menafsirkan pembaharu agama sebagai penghidup Sunah Nabi SAW ketika bid’ah bertebaran.
Pada masa kini, Islam diserang dari berbagai segi, khususnya pemikiran. Dalam menangkal serangan tersebut, kita tidak cukup melawan, tapi juga mengembangkan. Pasalnya, di antara serangan tersebut ada yang sebenarnya merupakan bagian Islam, namun selama ini terabaikan.
Kedua, tujuan dari pemikiran kritis ialah kebebasan. Bebas di sini adalah kita ikut kebenaran, bukan karena orang lain bilang itu benar. Kita ikut NU bukan karena kebetulan hidup di lingkungan NU. Lebih jauh dari itu, kita ber-NU, karena sadar dan paham bahwa NU itu benar. Dengan demikian, ke-NU-an kita bukan muncul karena paksaan, tekanan atau terlena pada lingkungan, namun berangkat dari kesadaran ilmiah bahwa NU itu memang kebenaran yang kita dambakan.
Sekilas uraian di atas hendak mendobrak zona nyaman yang selama ini menyelubungi kita. Zona nyaman tersebut ialah bahwa keislaman kita selama ini sesak dengan unsur ikut-ikutan pada lingkungan.
Gampangnya, jika Anda menyalahkan Wahabi, barangkali Anda kebetulan hidup di lingkungan NU? Seandainya, Anda hidup dan besar dalam lingkungan Wahabi, apakah Anda bakal menyalahkan aliran ini? Jika Anda hidup dalam lingkungan ateis, akankah Anda membenarkan Islam? Jika Anda hidup di lingkungan samen laven (nikah cukup dengan suka sama suka. Tidak usah akad dan lain-lainnya), mungkinkah Anda menyalahkan zina?
Liberalisme hendak menggertak kesadaran kita untuk keluar dari zona ikut-ikutan menuju kesadaran ilmiah bahwa Islam itu memang kebenaran mutlak yang selamanya dibutuhkan.
Baca Juga: Menyoal Isu Kemunduran Umat Islam: Kuru, Ulil, dan Luthfi