Sabtu, Januari 28, 2023
  • Login
  • Register
islamina.id
  • Beranda
  • Kabar
  • Kajian
  • Gagasan
  • Kolom
  • Biografi
  • Peradaban
  • Gaya Hidup
    • Fashion
    • Kesehatan
  • Review Kitab
  • Wawancara
  • Bulletin
    • Bulletin Islamina
    • Bulletin Jumat
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Kabar
  • Kajian
  • Gagasan
  • Kolom
  • Biografi
  • Peradaban
  • Gaya Hidup
    • Fashion
    • Kesehatan
  • Review Kitab
  • Wawancara
  • Bulletin
    • Bulletin Islamina
    • Bulletin Jumat
No Result
View All Result
islamina.id
No Result
View All Result
Home Kajian
Pesantren Kontinuitas dan Perubahan (3)

Pesantren Kontinuitas dan Perubahan (3)

Pesantren: Kontinuitas dan Perubahan (3)

Ekspansi Pesantren

Azyumardi Azra by Azyumardi Azra
06/01/2023
in Kajian, Tajuk Utama
0 0
0
0
SHARES
6
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on WAShare on Telegram

Dengan demikian jelaslah bahwa pesantren bukan hanya mampu bertahan. Tetapi lebih dari itu, dengan penyesuaian, akomodasi dan konsesi yang diberikannya, pesantren pada gilirannya juga mampu mengembangkan diri, dan bahkan kembali menempatkan diri pada posisi yang penting dalam sistem pendidikan nasional Indonesia secara keseluruhan.

Secara fisik pesantren mengalami kemajuan yang cukup fenomenal. Berkat peningkatan kemajuan ekonomi ummat Islam, sekarang ini tidak sulit mencari pesantren-pesantren yang memiliki gedung-gedung dan fasilitas-fasilitas fisik lainnya yang cukup megah dan mentereng. Pesantren, dengan demikian, tidak lagi bisa sepenuhnya diasosiasikan dengan fasilitas fisik seadanya, dengan asrama yang penuh sesak dan tidak higienis, misalnya.

BacaJuga

Menyapa Agama-Agama dalam Sejarah dan Teologi (1)

Sunnah Rasul Saw dalam Tradisi Selamatan (2)

Duri Islamisme dalam Sejarah NKRI

Ekspansi pesantren juga bisa dilihat dari pertumbuhan pesantren yang semula hanya rural based institution kemudian berkembang menjadi lembaga pendidikan urban. Lihatlah kemunculan sejumlah pesantren kota seperti di Jakarta, Bandung, Medan, Pekanbaru, Yogyakarta, Malang, Semarang, Makassar, atau wilayah sub-urban Jakarta seperti Parung atau Cilangkap. Seperti dikemukakan Zamakhsyari Dhofier, di antara pesantren perkotaan yang muncul pada 1980-an adalah Pesantren Darun Najah dan Ashidiqiyah di Jakarta; Pesantren Nurul Hakim, al-Kautsar, Darul Arafah di Medan, dan Darul Hikmah di Pekanbaru.

Dengan demikian, pesantren tidak lagi identik dengan kelembagaan pendidikan Islam yang khas Jawa; tetapi juga diadopsi oleh wilayah-wilayah lain. Istilah “pesantren” itu sendiri telah cukup lama digunakan misalnya di Sulawesi, atau Kalimantan. Belakangan istilah “pesantren” juga diadopsi di Sumatera Barat untuk menggantikan nama kelembagaan pendidikan Islam tradisional lainnya, yakni “surau” yang terlanjur mengandung konotasi pejoratif. Sehingga sekarang di Pasar Usang, sebuah wilayah sub-urban kota Padang, Sumatera Barat, muncul sebuah pesantren yang bernama “Pesantren Modern Prof. Dr. Hamka”.

Tak kurang pentingnya dalam pembicaraan tentang “ekspansi” pesantren adalah pengadopsian aspek-aspek tertentu sistem pesantren oleh lembaga pendidikan umum. Sebagai contoh adalah pengadopsian sistem pengasramaan murid SMU “unggulan” yang berkembang dalam beberapa tahun terakhir, walau dengan menggunakan istilah Inggris, “boarding school”, seperti yang dilakukan SMU Madania di Parung. Kalau kita perhatikan, sistem “boarding” sebenarnya merupakan salah satu karakteristik dasar sistem pendidikan pesantren, yang dikenal sebagai sistem santri mukim. Persoalan tentang apakah “boarding system” pada sekolah unggulan seperti Madania. Itu akan berhasil atau tidak, tentu saja merupakan persoalan lain yang memerlukan kajian tersendiri.

Daya Tahan dan Kontinuitas Pesantren

Dunia pesantren, dengan meminjam kerangka Hossein Nasr, adalah dunia tradisional Islam, yakni dunia yang mewarisi dan memelihara kontinuitas tradisi Islam yang dikembangkan ulama dari masa ke masa, tidak terbatas pada periode tertentu dalam sejarah Islam, seperti periode kaum Salaf, yaitu periode para sahabat Nabi Muhammad dan tabi’in senior. Anehnya, istilah “salaf” juga digunakan oleh kalangan pesantren —misalnya “pesantren salafiyah”— walaupun dengan pengertian yang jauh berbeda, jika tidak bertolak dengan pengertian umum mengenai salaf seperti baru saja dikemukakan. Istilah salaf bagi kalangan pesantren mengacu pada pengertian “pesantren tradisional” yang justru sarat dengan pandangan dunia dan praktik Islam sebagai warisan sejarah, khususnya dalam bidang syari’ah dan tasawuf. Perbedaan pesantren di dalam memahami pengertian “salaf” ini dielaborasi lebih jelas lagi oleh Cak Nur dalam Bagian Pertama, Bab III, “Sistem Nilai di Pesantren dan Ahlussunnah wal Jama’ah”.

Di sisi lain, dalam pengertian lebih, umum, kaum Salafi adalah mereka yang memegang paham tentang “Islam yang murni” pada masa awal yang belum dipengaruhi bid’ah dan khurafat. Karena itulah kaum Salafi di Indonesia sering menjadikan pesantren dan dunia Islarn tradisional lainnya sebagai sasaran kritik keras mereka; setidaknya karena keterkaitan lingkungan pesantren atau kiai dengan tasawuf atau tarekat. Bagi kaum Salafi umumnya, tasawuf dan tarekat merupakan pandangan dunia dan pengamalan Islam yang bercampur dengan bid’ah dan khurafat. Meski kritik semacam ini masih terus terdengar sampai sekarang, tetapi pesantren tetap bertahan.

Karena itu, tetap bertahannya pesantren agaknya secara implisit mengisyaratkan bahwa tradisi dunia Islam dalam segi-segi tertentu masih tetap relevan di tengah deru modernisasi; meskipun, sebagaimana dikemukakan di atas, bukan tanpa kompromi. Pada awalnya, dunia pesantren terlihat “enggan” dan “rikuh” dalam menerima modernisasi; sehingga tercipta apa yang disebut Cak Nur sebagai “kesenjangan antara pesantren dengan dunia luar” (bagian ketiga, Bab II). Tetapi secara gradual, sebagaimana telah disinggung di atas, pesantren kemudian melakukan akomodasi dan konsesi tertentu untuk kemudian menemukan pola yang dipandangnya cukup tepat guna menghadapi modernisasi dan perubahan yang kian cepat dan berdampak luas. Tetapi, semua akomodasi dan penyesuaian itu dilakukan pesantren tanpa mengorbankan esensi dan hal-hal dasar lainnya dalam eksistensi pesantren. 

Pesantren mampu bertahan bukan hanya karena kemampuannya untuk melakukan adjustment dan readjustment seperti terlihat di atas. Tetapi juga karena karakter eksistensialnya, yang dalam bahasa Cak Nur disebut sebagai lembaga yang tidak hanya identik dengan makna keislaman, tetapi juga “mengandung makna keaslian Indonesia (indigenous) (Bagian Pertama, Bab I). Sebagai lembaga indigenous, pesantren muncul dan berkembang dari pengalaman sosiologis masyarakat lingkungannya. Dengan kata lain, pesantren mempunyai keterkaitan erat yang tidak terpisahkan dengan komunitas lingkungannya. Kenyataan ini bisa dilihat tidak hanya dari latar belakang pendirian pesantren pada suatu lingkungan tertentu, tetapi juga dalam pemeliharaan eksistensi pesantren itu sendiri melalui pemberian wakaf, shadaqah, hibah, dan sebagainya. Sebaliknya, pesantren pada umumnya “membalas jasa” komunitas lingkungannya dengan bermacam cara; tidak hanya dalam bentuk memberikan pelayanan pendidikan dan keagamaan, tetapi bahkan juga bimbingan sosial, kultural, dan ekonomi bagi masyarakat lingkungannya. Dalam konteks terakhir inilah pesantren dengan kiainya memainkan peran yang disebut Clifford Geertz sebagai “cultural brokers” (pialang budaya) dalam pengertian seluas-luasnya.

Tetapi, keterkaitan erat antara pesantren dengan komunitas lingkungannya yang dalam banyak hal terus bertahan hingga kini, pada segi lain, justru dapat menjadi “beban” bagi pesantren itu sendiri. Terlepas dari perubahan-perubahan sosio-kultural dan keagamaan yang terus berlangsung dalam kaum Muslim Indonesia sekarang ini, harapan masyarakat kepada pesantren tidak berkurang. Bahkan, sesuai dengan gelombang santrinisasi yang terus berlangsung dalam masyarakat Muslim Indonesia belakangan ini, harapan pada pesantren semakin meningkat. Peran yang diharapkan (expected role) dimainkan pesantren semakin banyak. Pesantren diharapkan tidak hanya mampu menjalankan ketiga fungsi tradisionalnya di atas dan menjadi pusat pemberdayaan sosial-ekonomi masyarakat, tetapi juga peran-peran sosial lain, seperti menjadi “pusat rehabilitasi sosial”. Dalam konteks terakhir ini, bagi banyak keluarga yang mengalarni kegoncangan atau krisis sosial-keagamaan, pesantren merupakan alternatif terbaik untuk menyelamatkan anak-anak mereka.

Di sini sebuah pertanyaan penting patut diajukan; mampukah pesantren memenuhi semua harapan itu? Jawaban saya singkat saja; wallahu a’lam bi as-shawab

Baca Juga: Pesantren: Kontinuitas dan Perubahan (2)

Tags: Kontinuitas PesantrenPesantrenPesantren Perkotaan
Previous Post

Narasi Radikalisme-Terorisme Tahun 2022: Laporan Tahunan

Next Post

Fenomena Mualaf Menjadi Ustadz

Azyumardi Azra

Azyumardi Azra

RelatedPosts

Menyapa Agama Agama dalam Sejarah dan Teologi
Kajian

Menyapa Agama-Agama dalam Sejarah dan Teologi (1)

26/01/2023
Sunnah Rasul Saw dalam Tradisi Selamatan
Peradaban

Sunnah Rasul Saw dalam Tradisi Selamatan (2)

24/01/2023
Duri Islamisme dalam Sejarah NKRI
Kajian

Duri Islamisme dalam Sejarah NKRI

19/01/2023
Sunnah Rasul Saw dalam Tradisi Selamatan Hari
Peradaban

Sunnah Rasul Saw dalam Tradisi Selamatan (1)

16/01/2023
Fenomena Mualaf Menjadi Ustadz
Kajian

Fenomena Mualaf Menjadi Ustadz

12/01/2023
Narasi Radikalisme Terorisme Tahun 2022
Bulletin

Narasi Radikalisme-Terorisme Tahun 2022: Laporan Tahunan

01/01/2023
Next Post
Fenomena Mualaf Menjadi Ustadz

Fenomena Mualaf Menjadi Ustadz

Sunnah Rasul Saw dalam Tradisi Selamatan Hari

Sunnah Rasul Saw dalam Tradisi Selamatan (1)

Cari Artikel

No Result
View All Result

Masuk / Daftar

Masuk ke Akun anda
face
visibility
Daftar | Lupa kata sandi ?

Artikel Teerbaru

Menyapa Agama Agama dalam Sejarah dan Teologi

Menyapa Agama-Agama dalam Sejarah dan Teologi (1)

26/01/2023
Sunnah Rasul Saw dalam Tradisi Selamatan

Sunnah Rasul Saw dalam Tradisi Selamatan (2)

24/01/2023
Duri Islamisme dalam Sejarah NKRI

Duri Islamisme dalam Sejarah NKRI

19/01/2023
Sunnah Rasul Saw dalam Tradisi Selamatan Hari

Sunnah Rasul Saw dalam Tradisi Selamatan (1)

16/01/2023
Fenomena Mualaf Menjadi Ustadz

Fenomena Mualaf Menjadi Ustadz

12/01/2023

Trending Artikel

  • Pribadi Nabi Muhammad Saw Yang Introvert

    Pribadi Nabi Muhammad SAW yang Introvert

    110 shares
    Share 44 Tweet 28
  • Belajar Konsep Ketuhanan dari Surat Al Ikhlas

    106 shares
    Share 42 Tweet 27
  • Cara Islam Mengatasi Rasa Insecure

    72 shares
    Share 29 Tweet 18
  • Definisi Dai, Ustadz, Mufti, Murobbi dan Syarat-syarat yang Harus Dipenuhi

    60 shares
    Share 24 Tweet 15
  • Disebut Jokowi di Pengukuhan PBNU, Ini Profil Ainun Najib

    54 shares
    Share 22 Tweet 14
Putih E E
  • Redaksi
  • Kirim Artikel
  • Tentang Kami
  • Kontak Kami
  • Kerjasama
No Result
View All Result
  • Kajian
  • Gagasan
  • Kolom
  • Biografi
  • Peradaban
  • Gaya Hidup
    • Fashion
    • Kesehatan
  • Review Kitab
  • Bulletin
    • Bulletin Jumat
    • Bulletin Islamina

© 2021 Islamina - Design by MSP.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms below to register

*By registering into our website, you agree to the Terms & Conditions and Privacy Policy.
All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

This website uses cookies. By continuing to use this website you are giving consent to cookies being used. Visit our Privacy and Cookie Policy.