Indonesia bukanlah negara sekuler namun juga bukan negara agama. Indonesia merupakan negara Pancasila. Agama ditanamkan dalam bentuk nilai-nilai. Bahkan, dalam sila pertama dalam Pancasila saja berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Meski bukan negara agama, Indonesia tidak dapat dilepaskan dengan agama. Ruh segala aktivitas warga negara Indonesia adalah agama. Tak terkecuali dalam berpolitik pun selalu saja tidak dapat dilepaskan dengan agama. Pelibatan agama dalam politik oleh penganutnya, menurut Abdillah (2018), dimaksudkan untuk: (1) mengawal agar politik sesuai dengan etika dan ajaran agama, (2) melegitimasi aspirasi dan perilaku politik dengan ajaran agama, dan (3) membangun identitas dan solidaritas sosial.
Kendati demikian, pelibatan agama dalam berpolitik tidaklah tepat diterapkan di Indonesia manakala hanya berdasarkan nafsu tiap masing-masing umat. Lantaran, Indonesia merupakan negara yang memiliki pluralitas tinggi. Warga negara Indonesia mesti beragama, namun bisa memilih salah satu dari enam yang ada. Dan dipastikan antara satu agama dengan yang lain memiliki perbedaan.
Ketidakbenaran juga semakin nyata manakala agama hanya dijadikan alat politik untuk memenangkan kepentingan politik tertentu. Di sini yang menjadi titik tekan bukan bagaimana agama biar bisa menjadi nilai di dalam perpolitikan Indonesia namun agama dijadikan alat untuk pemenangan politik. Alhasil, agama harus menyesuaikan kepentingan sekelompok umat dengan menuduh kelompok lain salah.
Abdillah (2018) mengungkapkan bahwa penggunaan agama dalam politik disebut politisasi agama, jika pelibatan agama dalam politik dilakukan: (1) berdasarkan dalil-dalil keagamaan atau argumentasi yang bersifat diperselisihkan (khilafiyah), (2) penggunaan agama disertai kampanye negatif, kebencian dan/atau permusuhan terhadap lawan politik, (3) berorientasi hanya kepentingan kelompok, dan mengabaikan kepentingan nasional.
Era Post-Truth
Post-truth atau dalam bahasa Indonesia, menurut Kurniawan (2018), dialihbahasakan dengan istilah pasca-kebenaran, menandai sebuah era yang dipenuhi dengan repudiasi atau pengingkaran fakta dan akal sehat. Berita-berita palsu, hoaks, dan bahkan teori konspirasi mudah sekali viral dan dipercaya publik. Publik bahkan meragukan berita yang sudah jelas terverifikasi dari media yang kredibel.
Dalam dunia politik, fenomena pasca-kebenaran mudah sekali diciptakan. Bahkan, dikisahkan salah satu fenomena ini menjadi popular lantaran adanya kontestasi pemilihan Kepala Negara Amerika Serikat yang diikuti oleh oleh Donald Trump dan Hillary Clinton. Saat itu, Trump mengeluarkan sebuah pernyataan yang sangat kontroversial, yakni ia melabeli berita yang diproduksi oleh media-media terverifikasi di Amerika Serikat sebagai fake news (berita palsu). Ia menuduh bahwa media-media mainstream tidak fair dan ingin menjatuhkan kredibilitas dirinya dalam pilpres di AS. Ia pun bersikap antipati terhadap pers di Amerika.
Kepercayaan terhadap media sosial yang notabene secara akademis banyak hoax-nya daripada media mainstream yang terjaga kebenarannya semakin menggejala di negara Indonesia. Hampir setiap warga negara Indonesia mengonsumsi warta yang tersebar di media sosial. Dan sangat minim warga negara yang secara konsisten mengkonsumsi media mainstream.
Politisasi agama di era post-truth melalui media sosial sangat mudah sekali dilakukan. Para pemain politik dapat dengan mudah membuat berita yang sesuai dengan kepentingan politik dengan menukil dasar-dasar agama yang mendukung. Sementara, dasar-dasar agama yang bertentangan dengan syahwat politik kelompok tersebut disembunyikan rapat-rapat. Sebaliknya, terhadap kelompok lain, mereka memproduksi berita di media sosial yang bernada merendahkan serta menyalahkan kelompok lain. Dasar-dasar agama yang menguatkan pendapat ini pun juga disajikan serta menyimpan dasar-dasar agama yang tidak sejalan dengan pikiran mereka.
Dan fenomena betapa media sosial kita sudah penuh dengan berita bernuansa politisasi agama tidak dapat dibantahkan. Untuk itulah, tugas setiap kita adalah selalu mengajak kepada warga negara untuk cerdas dalam menggunakan/mengonsumsi produk media sosial. Selain itu, setiap kita juga mengajak kepada setiap warga negara untuk bisa mengaji ilmu agama yang cukup kepada para guru agama yang jelas kemampuan beragamanya. Jangan sampai masyarakat terombang-ambing dalam dunia politik lantaran pondasi dan Ilmu agama yang rapuh.
Wallahu a’lam.