Tiap kala manusia menghela dan mengadu kepada Tuhan lewat doa. Raga meminta, memohon, dan memasrahkan diri sebagai harapan agar doa dapat disentuh oleh langit. Manusia berdoa sebagai representasi keberadaan religius, pun sebagai kesadaran bahwa ada kelemahan, kekalahan, kesedihan, kehilangan, kelukaan, dan penderitaan tak tertangguhkan kecuali Sang Penentu menetapkan kehendak dan kepastian yang bakal diterima sebagai pengobat hidup.
Buku kitab doa Al-Ma’tsûrât digarap oleh Abû Bakr al-Thurthûsyî al-Andalusî (450-520 H) yang tumbuh dan belajar di Andalusia, lalu mengembara ke wilayah Timur. Penulis membawa penyadaran bahwa tradisi Islam tidak memakai perantara untuk mengirimkan doa ke langit. Doa dilakukan oleh raga. Penentuan doa ditentukan oleh raga dengan jiwa yang memohon dan meminta penuh. Penulis memberikan pengisahan sekaligus tuntunan yang mesti dilakukan agar doa menjadi berfaedah, sah, dan berjawab.
Al-Ma’tsûrât memuat pengisahan kemustajaban waktu doa, tata cara berdoa, nama agung Allah dalam doa, manfaat doa, rupa-rupa doa ditautkan dengan al-Quran-Hadist dan pendapat dari para ulama. Doa itu jarang bergerak dalam raga yang pasif, tapi beriring dalam peristiwa harian; berwudhu, masuk masjid, keluar rumah, naik kendaraan, mengenakan pakaian, bepergian. Pun dijelaskan bahwa menurut para ulama seperti ahli fiqih Abu Nashr al-Shabbagh (400-470 H) menyatakan dzikir adalah doa. Pujian-pujian agung cukup menjadi perwakilan, tanpa gamblang menjelaskan tujuan. Ini mengartikan kedekatan atau pelipatan jarak antara “aku dan Tuhan”. Seperti syair para sufi yang dikutip oleh penulis; Cukup sedih kiranya aku menyeru-Mu dengan sungguh-sungguh/ Seolah-olah aku jauh atau seolah-olah Engkau tidak ada.
Teladan doa dilakukan oleh para nabi, kaum cendikia, para sahabat, dan orang-orang saleh. Raga menjadi patokan dari jiwa yang bersungguh-sungguh. Penulis menarasikan tata cara berdoa. “Sebelum memohon kepada Tuhan, mereka terlebih dahulu bersimpuh di hadapan Tuhan, menata kaki, menengadahkan telapak tangan, meneteskan air mata, lalu memulai dengan bertobat atas maksiat dan pelanggaran yang telah diperbuat, menancapkan kekhusyukan di hati terdalam, dan memasrahkan diri sepenuhnya kepada Tuhan.”
Seperti doa yang pernah dihaturkan oleh Nabi Ibrahim, tidak ada sesembahan kecuali raga yang pada mula memuji Allah. Pada saat itu, Nabi Ibrahim berdoa agar kebutuhan ilmu pengetahuan dan hikmah, kesalehan, keteladanan bagi umat, ampunan bagi Ayah, dan kebaikan di akhirat terpenuhi. Nabi Ibrahim mengawali diri memuji Allah dalam hal penciptaan dan hidayah. Menyebut Allah sebagai Sang Khalik dan Pemberi petunjuk, Sang Pemberi makan dan minum, Sang Penyembuh penyakit, dan Sang Pemberi kehidupan dan kematian, dan Sang Pengampun.
Keterbelengguan
Kerendahan hati dalam doa jadi turut ditentukan oleh volume suara doa yang sering jadi perdebatan. Suara pelan menjadi salah satu adab dalam doa merujuk pada surat Al-A’raf (7) ayat 55, “Berdoalah kepada Tuhanmu dengan rendah hati dan suara yang lembut.” Diceritakan bahwa Nabi Zakaria berdoa secara sembunyi-sembunyi di kedalaman malam. Allah tidak perlu berisik untuk mengetahui dan mendengar suara doa lirih di kesunyian.
Di zaman klasik, doa masih kentara membawa konteks perang, perampokan, dan keterbelengguan diri secara lahir. Ada kondisi keterdesakaan karena penderitaan bertaruh ketetapan diri, ketabahan, dan kesabaran. Beberapa kisah keajaiban doa yang ditampilkan penulis. Salah satunya adalah kisah seorang tawanan tentara Romawi yang diperlakukan kasar dan kakinya dibelenggu besi. Suatu malam, tiba-tiba belenggu si tawanan terlepas begitu saja dan hal ini terjadi berulang kali. Si tawanan mendapati pembebasan magis lewat doa ibu yang miskin, tapi memiliki doa sebagai penebus. Doa ibu membuat si tawanan dibebaskan dan diantarkan menuju daerah Islam.
Dari masa ke masa, penerbitan buku-buku doa di Indonesia adalah kepastian. Rumah-rumah keluarga Muslim Indonesia tidak hanya membutuhkan kitab suci al-Quran sebagai ayat-ayat doa, tapi juga buku-buku kumpulan doa. Bahkan, doa diajarkan sejak kanak-kanak sebagai kesadaran religius dan bukti keberimanan. Komunitas-komunitas pengajian juga menjadi cara lain berdoa dengan sugesti bahwa penceramah atau ustaz/ ustazah merasa lebih berotoritas mendoakan umat. Doa telah mencapai keramaian ketimbang kesunyian malam menuju waktu fajar.
Semakin berjalan waktu, doa sering dipaksa sejalan dengan keinginan berlimpah manusia. Entah, apakah bakal terjadi revolusi doa yang lebih representatif dengan kebrutalan zaman mengingat pergulatan diri di antara keinginan dan kebutuhan semakin dikacaukan oleh hal-hal yang lebih bersifat duniawi. Doa-doa lebih digdaya dalam promosi iklan barang dan layanan. Doa sebagai nilai ekonomi lebih menguasai ketimbang penciptaan kestabilan spiritual dan psikologis. Doa sering jadi arogan, memaksa, dan mengancam. Kitab Al-Ma’tsûrât telah menasbihkan diri sebagai dokumentasi doa yang bersahaja sekaligus jawaban atas masalah-masalah tentang doa dan dzikir.