islamina.id — Jumat sore, 15 Januari 2021, tepatnya pukul 16:00 WIB, kabar duka menyelimuti tanah Betawi. Hal itu disebabkan oleh wafatnya seorang ulama Betawi yaitu Habib Ali bin Abdurrahman Assegaf pada usia 75 tahun. Orang-orang Betawi menyematkan panggilan untuknya yaitu Sayyidil Walid yang secara etimologi tuannya bapak. Kenapa demikian? Karena sifat kebapakannya yang menonjol darinya; mengayomi, mencerahkan, menasehati, dan memotivasi baik dalam berdakwah ataupun bertemu dengan orang lain.
Kegigihan Sayyidil Walid dalam belajar terlihat dari mudanya hingga akhir hayatnya. Keluasan ilmunya terbukti karena pengalaman bergurunya kepada para habaib dan mualim di dalam dan luar negeri. Guru-gurunya antara lain, Habib Abdurrahman bin Ahmad Assegaf (ayahandanya), Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi (sohibul Kwitang), Habib Ali bin Husein Alatas (sohibul Bungur), Habib Salim bin Ahmad bin Jindan (Singa Podium), Habib Soleh bin Muksin Al-Hamid (sohibul Tanggul), Habib Abdullah Syami Alatas, Habib Muhammad bin Ahmad Al-Haddad (Condet), Prof. Dr. KH Raden Abdullah bin Nuh (Bogor), dan Mualim Ahmad Junaidi (Menteng Atas). Selain itu ia pernah mukim selama empat puluh hari di Prof. DR. Sayyid Muhammad bin Alwi al-Maliki (Mekkah).
Sekitar tahun 1960-an, Sayyid Ali Assegaf muda melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi. Tatkala itu, ia kuliah di dua perguruan tinggi, yaitu IAIN (Institut Agama Islam Negeri) dan Universitas Ibnu Chaldun Jakarta. Bahkan, suatu ketika ia mengikuti ujian hadis di IAIN, ia berani mengkoreksi dan mengkritik soal ujian hadis yang ditulis oleh dosen tersebut di papan tulis. Sehingga dirinya dipanggil ke ruangan dosen untuk mendapatkan percepatan kelulusan di perguruan tinggi Islam itu.
Kemahiran bahasa Arab Sayyid Ali semakin meningkat. Kondisi tersebut diperoleh karena ia belajar dengan Habib Muhammad Asad bin Syihab. Sehingga kecakapan bahasa Arabnya setara dengan akademisi-akademisi Arab. Hal tersebut terlihat dari struktur kalimat dan gaya bahasa Arabnya yang diucapkan mengikuti aturan baku tata bahasa Arab meliputi ilmu sintaksis (nahwu) dan morfologi (sharf).
Berkah ilmu yang dimiliki, Habib Ali bin Abdurrahman Assegaf mengajar pada umur 15 tahun di Assagofah, Bukit Duri (madrasah milik ayahandanya). Selain itu ia pernah mengajar sekaligus menjadi kepala sekolah di Madrasah Islamic Center Kwitang yang merupakan embrio dari Madrasah Unwanul Falah tahun 1972. Ia meminta beberapa pengajar Assagofah untuk mengajar di madrasah tersebut diantaranya Habib Muhammad bin Abdurrahman Assegaf, Mualim Ro’i, dan KH. Zarkasyi.
Tehnik pengajarannya yang khas yaitu ia tidak mau berpindah dari satu bab ke bab lain kecuali si murid telah menghafal dan memahami satu bab yang telah diajarkannya. Artinya, kesabaran antara guru dan murid diperlukan pada sebuah pembelajaran. Sayyidil Walid pernah berbicara kepada penulis, “Di zaman sekarang para pengajar agama di sekolah hanya mengejar target kurikulum tanpa memandang sejauh mana murid bisa mengerti dan memahami apa yang mereka pelajari. Sehingga banyak dari mereka sekedar pernah belajar tentang bab itu.”
Sayyidil Walid membina dan membimbing lebih dari dua puluh majelis taklim di JABODETABEK. Majelis utamanya yaitu di rumahnya sendiri yaitu Al-Afaf, Tebet Utara. Majelis tersebut telah berdiri kurang lebih dua puluh tujuh tahun lamanya. Majelis tersebut setiap sabtu dimulai setelah shalat Ashar berjamaah yang diimami oleh Sayyidil Walid sendiri. Kemudian membaca wirdhu latif sebagai zikir sore yang disusun oleh Habib Abdullah bin Alwi Al-Haddad. Lalu beliau membaca dan menerangkan kitab-kitab kuning yang berkenaan dengan tauhid, fiqih, dan tasawuf.
Di samping itu, tokoh Betawi yang disegani semua kalangan tersebut juga membuka majelis khusus para ustad di kediamannya pada hari Rabu pagi. Dua kitab yang diajarkannya yaitu Ithafussadah al-Muttaqien syarah Ihya Ulumuddin dan Fathul Bari syarah Sohih Bukhari. Karena prinsipnya, seorang guru bukan hanya mengajar saja akan tetapi harus tetap belajar. Prinsipnya tersebut bersesuaian dengan long life education, pendidikan sepanjang hidup.
Praktik long life education itu sendiri dijalani sampai masa senjanya. Di tahun 2013-2015, Sayyidil Walid berguru pada ulama Timur Tengah melalui jaringan Skype dengan Al-Faqih Habib Abdullah bin Soleh Ba’bud (Madinah, Saudi Arabia) dan Dr. Ismail Al-Mishri (Dosen Al-Azhar Cabang Tonto Mesir). Bahkan, Dr. Ismail al-Mishri datang ke Jakarta mengunjungi Habib Ali bin Abdurrahman Assegaf pada tahun 2016. Keilmuannya diakui oleh ulama Indonesia dan Timur Tengah, sebab itulah UIN Jakarta ingin sekali mempersembahkan gelar Doktor Honouris Causa kepadanya. Akan tetapi beliau menolaknya.
Alm. KH. Syaifuddin Amsir sangat menganggumi Sayyidil Walid. Sehingga beliau menuturkan kepada Habib Ahmad bin Ali Assegaf (anak dari Sayyidil Walid), “Walidak (ayahmu) itu Allamah, karena beliau mengajar Kitab Fathul Bari ٍ Syarah Kitab Sohih Bukhari. Dimana jarang para guru yang mengajarkan kitab tersebut.”
Berdakwah dari satu wilayah ke wilayah lainnya merupakan jalan yang juga ditempuh Sayyidil Walid sebagai tongkat estafet dari dakwah para salafuna salihin. Dakwahnya yang lembut dan santun terinspirasi oleh QS An-Nahl [16]:125:
ادْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ ۖ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ ۚ