BAGI dunia Islam, istilah sekularisme sepertinya memang masih merupakan ‘makhluk asing’ yang kerap menuai kontroversi, sehingga diperlukan adanya penelusuran tentang sejauh mana konsep sekularisme bisa diterima atau bahkan ditolak dalam perspektif ilmu pengetahuan dan agama. Mayoritas umat Muslim beranggapan bahwa sekularisme bukan hanya sekedar pandangan tentang pemisahan antara agama dan negara, tetapi juga merupakan pandangan hidup yang mengajak untuk melepaskan nilai-nilai rohani atau akhlak dari kehidupan manusia. Dengan demikian, sekularisme sangat bertentangan dengan ajaran agama dan nilai-nilai kemanusiaan secara umum.
Selain itu, dalam pandangan mereka, sekularisme hanya menyatukan manusia yang hidup dengan alam materi yang mati, serta menjadikan keduanya setingkat. Dan manusia sendiri berperan sebagai individu yang memenuhi kebutuhan-kebutuhan materialnya secara tamak. Bahkan menurut mereka juga, sekularisme tidak ada bedanya dengan pandangan imperialisme Barat, dan menjadi salah satu sarana untuk membelenggu dan memaksa kemanusiaan manusia (insânîyyah al-insân).
Di dunia Arab, sebagai wilayah pertama munculnya Islam, secara garis besar, sekularisme dibagi menjadi dua pengertian: pertama, al-‘almânîyyah yang berasal dari kata ‘âlam (dunia); kedua, al-‘ilmânîyyah yang berasal dari kata ‘ilm (ilmu). Sekularisme dalam pengertian al-‘almânîyyah, menurut Zaky Naguib Mahmud, seorang filsuf terkemuka Mesir, muncul di Eropa pada masa tertentu antara abad ke-5 sampai ke-15 M. Suatu masa di mana Eropa saat itu dikuasai oleh para pemuka agama (rijâl al-dîn) yang berpandangan bahwa kehidupan yang ideal adalah kehidupan para pendeta atau rahib, zuhud terhadap dunia dan tidak menerima atau menolaknya. Maka kemudian para pemuka agama tersebut memisahkan antara kehidupan dunia dan agama (akhirat), antara bumi dan langit.
Namun, Zaky Naguib Mahmud menolak pemisahan semacam itu. Sebab, bila ajaran dasar Kristen membolehkan pemisahan antara bumi dan langit atau antara dunia dan agama, sebaliknya Islam tidak menganjurkan umat Muslim mengesampingkan (tidak peduli) alam. Umat Muslim justru diperintah berpesta di dunia seolah-olah akan hidup selamanya. Juga diperintah berbuat untuk akhirat seolah-olah akan mati besok. Dunia dalam perspektif Islam merupakan kesempatan dari Tuhan untuk menguji siapakah di antara manusia yang paling baik perbuatannya.
Sementara sekularisme dalam pengertian al-‘ilmânîyyah yang terkait dengan ‘ilm dan metode rasionalnya, berperan sekaligus berfungsi sebagai pengontrol dalam permasalahan-permasalahan duniawi. Dengan pengertian semacam ini, maka penolakan terhadap pandangan sekularisme—dalam pengertian al-‘ilmânîyyah—merupakan kesalahan besar. Sebab penolakan tersebut ditujukan kepada orang yang peduli terhadap ilmu. Seolah-olah mereka—yang melakukan penolakan itu—mengajak kita kepada kebodohan dan berpaling dari ilmu.
Pendapat demikian kiranya sangat benar, bahwa antara al-‘almânîyyah dan al-‘ilmânîyyah, keduanya tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Sebab bagaimana mungkin kita membenci dunia, sementara dunia ini adalah panggung di mana kita melakukan aktivitas dan tempat kita membangun peradaban. Maka menolak sekularisme dalam pengertian al-‘almânîyyah merupakan musibah besar, apalagi kalau sampai menolak sekularisme dalam pengertian al-‘ilmânîyyah, yang tentu saja akan sangat membahayakan, sebab dengan begitu berarti menolak ilmu.
Pendapat lain dikemukakan oleh Mahmud Amien al-Alim, seorang pemikir Mesir yang tersohor, yang berpendapat bahwa tidak ada perbedaan antara al-‘almânîyyah dan al-‘ilmânîyyah. Terlepas dari terjemahan kata yang digunakan, sekularisme adalah pandangan terhadap dunia atau realitas dengan upaya melakukan interaksi secara positif. Dengan demikian, maka akan ada kesatuan paham antara ilmu dalam maknanya yang obyektif dengan dunia dalam maknanya yang pasti bagi terealisasikannya kesejahteraan manusia secara praktis. Pemahaman ini menegasikan pandangan bahwa sekularisme berarti penolakan terhadap agama, nilai-nilai, akhlak, tradisi, ataupun dimensi rohani manusia.
Mahmud Amien al-Alim mengatakan bahwa seorang sekularis tidak berarti ia kafir. Sama halnya dengan seorang muslim, tidak berarti ia bukan seorang sekularis. Tidak ada hubungan dualisme yang saling berjauhan itu, antara sekularisme dan agama, nilai-nilai, akhlak atau tradisi seperti anggapan kebanyakan orang.
Di dalam tradisi Islam klasik, banyak contoh yang dapat dijadikan teladan. Misalnya, tentang sikap dua tokoh muslim terkemuka dan sangat dihormati berkenaan dengan masalah dunia, yaitu permasalahan tinggi/mahalnya harga barang (ghilâ` al-as’âr). Dua tokoh yang dimaksud adalah Qadhi Abdul Jabbar al-Muktazili dan Imam al-Baqillani al-Asy’ari.
Qadhi Abdul Jabbar dalam bukunya “al-Mughnîy” melihat bahwa faktor yang menyebabkan tinggi/mahalnya harga barang adalah “sedikitnya barang dengan kebutuhan yang sangat mendesak (syiddah al-hâjah) terhadap barang tersebut. Dengan kata lain, banyaknya orang yang sangat membutuhkannya. Juga dalam menentukan harga barang (tas’îr) kadang-kadang terjadi kecurangan, sehingga membawa kerusakan yang menyusahkan kaum fuqara”, maka “dalam menentukan harga harus adil” demi terwujudnya kesejateraan masyarakat.
Berbeda dengan Imam al-Baqillani yang menegaskan dalam bukunya “al-Tamhîd”, bahwa mahal dan murahnya barang tidak tergantung pada sifatnya, akan tetapi sangat tergantung pada faktor utama, yaitu Allah. “Kalau Allah menciptakan dalam diri semua manusia sifat zuhud terhadap makanan dan menjadikan mereka selalu ingat akan kematian, tentu mereka tidak akan membeli barang-barang tersebut, baik sedikit maupun banyak.” Jadi, walaupun barang itu sedikit, tidak akan mungkin dapat mengangkat harga. Sebab “sesungguhnya semua harga itu datang dari Allah”, dan Dialah yang menciptakan segala sesuatu.
Contoh di atas memperlihatkan dengan jelas kepada kita, betapa kedua pemikir besar tersebut berbeda dalam menafsirkan fenomena duniawi. Qadhi Abdul Jabbar berangkat dengan penafsiran ilmiah-sekuler (al-tafsîr al-‘ilmîy al-‘ilmânîy) dan berpijak pada faktor obyektif alam. Sedangkan Imam al-Baqillani menilai masalah yang sama dengan penafsiran agamis (al-tafsîr al-dînîy) dan berpijak pada faktor luar alam (khârij al-thabî’ah), yaitu Allah. Dari sini, kita dapat menyimpulkan bahwa penafsiran agamis sangat berbeda dengan penafsiran sekuler.
Hanya saja, penafsiran Qadhi Abdul Jabbar di atas sama sekali tidak bertentangan dengan keimanan dan keislamannya. Jadi, pada hakikatnya sekularisme merupakan ekstensi dari rasionalisme, baik dari segi pandangan dan pendekatannya. Barangkali hadits yang berbunyi, “Dalam urusan dunia (profan), kalian lebih faham, lebih tahu,” merupakan penegasan terhadap makna ini. Maka interaksi dengan alam, dan menafsirkannya dalam kondisi riilnya yang obyektif—dalam realitas kehidupan manusia—dengan metode ilmiah sama sekali tidak bertentangan dengan agama dan keberagamaan seseorang.
Intinya adalah, bahwa sekularisme tidak bertentangan dengan agama dan keimanan. Justru akan menjadi pendorong bagi pembaharuan agama selaras dengan perkembangan kehidupan dan realitas yang ada. Selain itu, sekularisme tidak hanya terkait dengan budaya Barat semata, walaupun budaya Barat mempunyai andil cukup besar dalam perkembangannya. Namun sekularisme merupakan tradisi (turâts) manusia klasik yang terkait erat dengan sejarah manusia yang terus berkembang. Oleh karenanya, ia merupakan produk atau buah dari setiap usaha dan pengalaman manusia yang beragam tingkatannya.
Dengan pengertian semacam itu, secara sederhana, sekularisme dapat dipahami sebagai sikap kita dalam menghadapi kenyataan hidup di dunia ini. Apakah kita menerimanya dengan terbuka ataukah kita malah menolaknya. Bila kita menerimanya, maka kita harus berani menanggung segala konsekuensi yang bakal muncul. Sebaliknya, jika kita menolaknya, itu pertanda bahwa kita takut menghadapi kenyataan.