Tahniah kami ucapkan kepada warga Jakarta. Memasuki usia yang ke-495, Provinsi DKI Jakarta menjadi salah satu bagian wilayah tertua di Indonesia. Selain itu, DKI Jakarta — sebagai ibukota negara— menjadi kiblat wilayah lain baik dalam negeri maupun luar negeri. Tak jarang orang melihat kondisi sosial politik yang terjadi di Jakarta.
Hingga saat ini, iklim sosial politik di Indonesia masih terpengaruh oleh peristiwa ‘Politisasi Agama’. Pada tahun 2016, mantan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama atau populer dengan nama Ahok, menjadi objek dari politisasi agama yang dilakukan oleh kelompok umat Islam konservatif. Padahal, Ahok sudah meminta maaf atas sebab umat Islam itu marah.
Peristiwa ini mencapai klimaks ketika pemilihan gubernur yang berlangsung di tahun 2017. Isu SARA dipakai oleh kelompok Islam konservatif, untuk meredupkan Ahok agar tidak terpilih kembali menjadi pemimpin Jakarta. Aksi demo berjilid-jilid, terbukti ampuh untuk menyingkirkan lawan politik (sebagian pengamat mengatakan pemimpin yang Non-Muslim).
Vedi R. Hadiz dalam bukunya “Populisme Islam di Indonesia dan Timur Tengah”, mengungkapkan bahwa ada basis sosial populisme Islam yang berubah. Ia mengklasifikasi tiga kelompok diantaranya, urban middle class, the bourgeoisie, dan urban poor. Kaitannya dengan peristiwa di atas adalah terciptanya populisme Islam baru untuk suatu kepentingan dan kekuatan oligarkis (Vedi, 2019).
Banyak pengamat mengatakan pemilihan kepala daerah DKI Jakarta pada tahun 2017 adalah pemilihan terburuk dan paling brutal. Banyak korban dari iklim politik SARA ini, bahkan sampai sekarang, warga Jakarta masih menyimpan doktrin akibat residu di tahun 2017. Umat Islam Jakarta terbelah dan tidak bisa disatukan.
Upaya Penyembuhan DKI Jakarta
Lama menyandang sebagai Ibukota Negara, Jakarta menjadi role model provinsi-provinsi lain. Persoalan-persoalan seperti kemacetan, banjir, sampah, dan lain-lain, merupakan problem rutin gubernur-gubernur sebelumnya. Tetapi, ada satu problem yang belum terselesaikan. Yaitu luka lama dari ‘Politisasi Agama’.
Usia yang ke-495 tahun, Jakarta mencerminkan daerah yang memiliki heterogenitas kompleks. Berbicara tentang agama dan etnis, menunjukkan aspek sensitif di kalangan umat Muslim Jakarta. Seperti yang penulis observasi ke beberapa tokoh atau masyarakat Jakarta (Betawi).
Masyarakat Betawi memegang teguh prinsip Islam. Amaliyah maupun ibadah mereka sangat Islami, dan lebih condong ke aqidah Ahlussunnah wa al-Jama’ah. Menariknya, doktrin politisasi agama di tahun 2017 membawa mereka masuk dalam pusaran korban politik para elite.
Muslim Jakarta tidak dapat dijauhkan dari Ulama. Ketokohan para Habaib dan Kyai, menjadi pegangan kalangan Muslim untuk ‘ijtihad politik’. Tetapi, kalangan para Habaib dan Kyai di Betawi terlalu didominasi oleh kelompok konservatif. Faktor ini dimanfaatkan juga oleh para elite. Pada akhirnya menimbulkan segregasi di antara Ulama Betawi itu sendiri. Ulama terbelah, umat pun ikut terpecah.
Seperti contoh kasus beberapa takmir Masjid di Jakarta. Mereka masih menganggap aneh menyanyikan “Indonesia Raya” pada acara atau kegiatan formal. Padahal, dahulu tidak menjadi persoalan. Akibatnya, rasa nasionalisme hilang. Inilah salah satu dari luka politisasi agama yang lalu.
Kelompok-kelompok civil society berbasis keagamaan seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, seharusnya ikut berpartisipasi melakukan penyembuhan kepada warga Muslim Jakarta atas luka lama yang terjadi. Luka akibat politisasi agama harus disembuhkan dengan melakukan kegiatan silaturahim. Baik secara intern dan ekstern. Intern khusus sesama warga Muslim. Dengan memberikan pemahaman politik rahmatan lil ‘alamin. Tanpa harus mencederai sesama anak bangsa.
Ekstern dengan melakukan pertemuan-pertemuan antar umat beragama lain. Toleransi yang dapat diukur secara matang. Tanpa melukai keimanan Muslim dan Non-Muslim. Penulis rasa, hal ini dapat diupayakan oleh kelompok-kelompok Muslim seperti NU dan Muhammadiyah.
Sebagai penutup, penulis yang juga cukup lama hidup di Jakarta ikut merayakan ulang tahun yang ke-495. Ada perasaan senang, dan ada perasaan sedih. Sedih karena melihat sisa-sisa akibat politisasi agama yang terus menerus dan akan diproduksi oleh kelompok-kelompok yang tidak bertanggung jawab.