Sabtu, Agustus 13, 2022
  • Login
  • Register
islamina.id
  • Beranda
  • Kabar
  • Kajian
  • Gagasan
  • Kolom
  • Biografi
  • Peradaban
  • Gaya Hidup
    • Fashion
    • Kesehatan
  • Review Kitab
  • Wawancara
  • Bulletin
    • Bulletin Islamina
    • Bulletin Jumat
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Kabar
  • Kajian
  • Gagasan
  • Kolom
  • Biografi
  • Peradaban
  • Gaya Hidup
    • Fashion
    • Kesehatan
  • Review Kitab
  • Wawancara
  • Bulletin
    • Bulletin Islamina
    • Bulletin Jumat
No Result
View All Result
islamina.id
No Result
View All Result
Home Gagasan
Sufi untuk Deradikalisasi

Sufi untuk Deradikalisasi

Sufi untuk Deradikalisasi 

Mawardin M. Sidik by Mawardin M. Sidik
21/05/2022
in Gagasan, Tajuk Utama
4 0
0
4
SHARES
79
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on WAShare on Telegram

Pendekatan keamanan (security approach) dalam kebijakan kontra terorisme, tentu sangat urgen untuk mencegah jatuhnya korban, menjamin rasa aman kepada masyarakat. Namun, upaya memberantas kejahatan terorisme perlu optimalisasi pendekatan kultural (cultural approach). Salah satunya melalui deradikalisasi untuk melenyapkan ideologi radikal yang mendasari tindakan terorisme. 

Di sejumlah wilayah Indonesia belakangan ini, Densus 88 Antiteror Polri menangkap puluhan terduga teroris yang berafiliasi ke jaringan Negara Islam Irak dan Syam (ISIS), Jamaah Islamiyah (JI), Jamaah Ansharut Daulah (JAD), dan Negara Islam Indonesia (NII). Secara kategoris, ada tipe terorisme berbasis agama dan non-agama. Orang radikal ataupun ekstrem belum tentu berujung teroris, namun gejalanya tetap diwaspadai, sebab selangkah lagi menjadi teroris. Maka, ideologi kelompok radikal-ekstrem itu mesti dipenetrasi. 

Mark Juergensmeyer (2017) dalam bukunya Terror in the Mind of God, menganalisis secara rinci kasus terorisme di berbagai negara yang terkait dengan hampir semua agama: Kristen, Islam, Yahudi, Hindu, Buddha, Shinto dan sebagainya. Dalam konteks itulah, berbagai alternatif deradikalisasi beserta agenda programatiknya perlu dieksplorasi secara komprehensif. 

BacaJuga

Darurat Literasi Islam yang Ramah

Bulletin Jum’at Al-Wasathy | Edisi 037

Jelang 2024, MUI: Tolak Politisasi Agama dan Politik Identitas

Pendekatan Kultural

Pendekatan keamanan (security approach) dalam kebijakan kontra terorisme, tentu sangat urgen untuk mencegah jatuhnya korban, menjamin rasa aman kepada masyarakat. Namun, upaya memberantas kejahatan terorisme perlu optimalisasi pendekatan kultural (cultural approach). Salah satunya melalui deradikalisasi untuk melenyapkan ideologi radikal yang mendasari tindakan terorisme. 

Ikhtiar melunakkan otak radikal, mengonter ekstremisme kekerasan (countering violent extremism), seyogianya melewati tahapan yang terukur. Mereka kadung terjerat dalam cara pandang yang mengabaikan HAM, demokrasi dan kebinekaan. Agama dibajak sedemikian rupa yang berujung pada mal-praktik jihad. 

Karena itu, negara harus tetap memberdayakan organisasi kemasyarakatan moderat sebagai mitra, sembari melakukan intervensi pemikiran di kalangan radikal. Setidak-tidaknya, kaum moderat mengamplifikasi narasi pembanding. Di sisi lain, nuansa kesyahduan di dalam tradisi tarekat layak dilirik guna menyentuh qalbu. Sebuah ekosistem religiusitas yang mengedepankan cinta (hubb). 

Kontra Terorisme Melalui Tarekat

Dalam khazanah pemikiran Islam, tarekat dimaknai sebagai jalan penghayatan agama yang berdimensi esoterik untuk membentuk pribadi yang ihsan (baik). Tarekat menampilkan wajah agama yang fokus pada penjernihan akhlak, disertai amalan khas di bawah bimbingan seorang mursyid (guru sufi).

Secara praktis, tarekat adalah pelembagaan dari ideologi tasawuf yang diaktori para sufi yang beragam. Nicolaas H. Biegman (2009) dalam bukunya Living Sufism: Rituals in the Middle East and the Balkans, mengurai keragaman sufisme tampak pada banyaknya kelompok tarekat. Berbagai kelompok tarekat yang telah menyejarah dan melembaga di Indonesia, antara lain Syattariyah, Syadziliyah, Khalwatiyah, Qodiriyah wa Naqsyabandiyah, dan sebagainya. 

Ilmu tasawuf merupakan sokoguru peradaban Islam yang prospektif untuk meredam laju kebangkitan ekstremisme. Kelindan sufi dan filsafat dalam formula tasawuf falsafi memantulkan kekuatan tersendiri. Percikan tasawuf falsafi yang menghargai akal sehat sekaligus pengetahuan intuitif sangat relevan sebagai landasan berpikir. Akalnya merdeka. Hatinya tenang. 

Dalam interaksi dan tindakan komunikatif kaum sufi, khazanah humor mengandung kekayaan religio-kultur yang unik. Koleksi cerita lucu penuh makna dari Nasrudin Hoja hingga Gus Dur layak dirayakan kembali. Dalam derajat tertentu, sulit bagi kaum humoris ditembus oleh virus-virus radikal dan ekstrem.

Sebagai tatanan nilai, bertarekat adalah jihad spiritual bagaimana meredam amarah, dendam, dan kesombongan. Itulah tasawuf-akhlaqi, sebagaimana tergambar dalam karangan Jalaluddin Rakhmat Dahulukan Akhlak Di Atas Fiqih. Konsep akhlak sufistik dan hidup bahagia juga sudah diwariskan oleh Buya Hamka dalam Tasawuf Modern. Spiritualitas kebahagiaan itu saling menopang dengan sufi sastrawangi ala Jalaluddin Rumi hingga Emha Ainun Najib. Sejuk dan menyejukkan tutur katanya. Bijak pula sikap dan perilakunya.

Sementara tasawuf amali, kaum tarekat fokus mengamalkan ritus dzikirullah, mendendangkan nyanyian dan tarian-tarian cinta. Kedalaman etik dan mistikal memancarkan energi positif guna merajut kasih lintas iman, meminjam istilah Ricklefs: sintesis-mistik. Dalam bingkai mistisisme Islam, para sufi dalam fase tertentu bisa melintasi batas agama (passing over). Walhasil, terwujudnya perilaku inklusif dan toleran.

Signifikansi Sufi 

Sejarah telah mencatat bahwa awal persebaran agama Islam di Indonesia dibawa oleh para ulama sufi. Mereka lebih mengedepankan budi pekerti dan akhlakul karimah, sebagaimana karakteristik dakwah Walisongo di bumi nusantara. Kaum sufi tidak gagap terhadap kearifan lokal, melainkan turut bersenyawa. Perkara itu sungguh berbeda dengan model beragama kaum ekstremis yang alergi terhadap pluralisme dan tradisi lokal. Nalar sufisme begitu signifikan untuk membentuk pribadi dan komunitas yang menerima kemajemukan di negeri yang multi-kultur ini.

Signifikansi sufi juga terletak pada kredo dan kode: jangan merasa suci, apalagi menghina sesama manusia. Tidak ada juga kamus mengkafirkan orang lain di kalangan sufi. Artinya, sufisme tampil sebagai anti tesis ekstremisme. Bagaimana menerjemahkan tarekat sufi ke dalam praksis deradikalisasi? Ada tiga langkah konkret dalam upaya memanfaatkan tarekat sufi sebagai wahana deradikalisasi, yakni langkah preventif (pencegahan), kuratif (penyembuhan), dan rehabilitatif (pemulihan).

Di tengah gejala intoleran, corak keislaman berkarakter sufistik dapat dipromosikan kepada umat Islam secara meluas, baik online maupun offline. Langkah ini untuk mencegah umat dari invasi pemikiran ekstrem yang beredar di ruang publik. Pada saat yang sama, lembaga tarekat berperan di jagad spiritual, membimbing batin masyarakat agar kesadaran semesta mengkristal, terbang melampaui identitas partikular.

Dalam relasinya dengan negara, kaum sufi cenderung akomodatif dengan pemerintah. Kultur tarekat memperkaya agenda pencegahan dari anasir ideologi transnasional pro-kekerasan. Dalam skala tertentu, kelompok tarekat pun bersikap kritis. Hanya saja, kawula sufi menghindari jalan kekerasan, tapi kritik yang berciri artikulatif, elegan, dan persuasif. 

Itulah yang menjelaskan sosok seperti Habib Luthfi bin Ali bin Yahya, Ra’is ‘Am Jam’iyah Ahlu Thariqah al Mu’tabarah an Nahdiyah (JATMAN), juga Ketua Forum Sufi Internasional,  kemudian didaulat sebagai Anggota Dewan Pertimbangan Presiden Periode 2019 – 2024.  Sedangkan kaum ekstremis doyan berbuat rusuh hingga melawan rezim pemerintahan yang sah. Bahkan faksi garis keras acap merongrong ideologi dasar negara sebagaimana jejak rekam ISIS, JI, JAD, NII.

Dalam aspek kuratif, kaum ekstremis bisa disembuhkan dengan transformasi kesadaran baru (epiphany). Masa lalunya yang kelam diganti dengan cakrawala baru, meninggalkan sisi gelap, lalu hijrah menuju cahaya sufistik. Maka terjadilah pergeseran haluan dari hidup kaku, tegang dan beringas menjadi tenang, simpatik dan ceria.

Selanjutnya, langkah rehabilitatif akan lebih relevan diterapkan kepada narapidana terorisme (napiter). Caranya, napiter dimasukkan ke dalam rumah ibadah kaum sufi. Mereka dibaiat, bukan hanya berikrar setia pada Merah Putih, tapi juga baiat tarekat sebagai cermin ketaatan murid kepada sang mursyid yang kharismatik. Harapannya, napiter yang terkarantina itu kembali pulih.

Hati murid dan hati gurunya saling terhubung. Atmosfir spiritual sufi kemudian memengaruhi perilaku murid tarekat untuk merawat keadaban dan cinta kasih. Muaranya, watak garis keras berubah menjadi garis lunak. Dengan demikian, sufi, tasawuf dan tarekat menjadi mutiara untuk menghadirkan masyarakat Indonesia yang penuh suka cita dan cinta damai. 

Baca Juga: NII Akar Munculnya Gerakan Teror di Indonesia

Tags: DeradikalisasiKontra Terorismependekatan spiritualspiritualsufisufismeTarekatThariqah
Previous Post

Konflik Intern dan Ekstern Umat Beragama Perspektif Masykuri Abdillah (1)

Next Post

Perempuan, Kebaya, dan Emansipasi

Mawardin M. Sidik

Mawardin M. Sidik

Pengamat Politik dan Terorisme

RelatedPosts

Darurat Literasi Islam yang Ramah Islamic Book Fair
Kolom

Darurat Literasi Islam yang Ramah

12/08/2022
thumbnail bulletin jum'at al-wasathy
Bulletin

Bulletin Jum’at Al-Wasathy | Edisi 037

12/08/2022
Sekjen MUI Amirsyah Tambunan
Kabar

Jelang 2024, MUI: Tolak Politisasi Agama dan Politik Identitas

10/08/2022
bulletin jum'at
Bulletin

Bulletin Jum’at Al-Wasathy | Edisi 036

05/08/2022
muharram
Kolom

Tradisi Menyantuni Anak Yatim di Bulan Muharram

01/08/2022
Bulletin Jum'at Al-Wasathy
Bulletin

Bulletin Jum’at Al-Wasathy | Edisi 035

29/07/2022
Next Post
Perempuan Kebaya dan Emansipasi

Perempuan, Kebaya, dan Emansipasi

Konflik Intern dan Ekstern Umat Beragama Perspektif Masykuri Abdillah 2

Konflik Intern dan Ekstern Umat Beragama Perspektif Masykuri Abdillah (2)

Cari Artikel

No Result
View All Result

Masuk / Daftar

Masuk ke Akun anda
face
visibility
Daftar | Lupa kata sandi ?

Artikel Teerbaru

Darurat Literasi Islam yang Ramah Islamic Book Fair

Darurat Literasi Islam yang Ramah

12/08/2022
Kepala BNPT Komjen Boy Rafli Amar dan Ketua Umum Mathlaul Anwar KH Embay Mulya Syarief

Ormas Keagamaan Harus Ikut Masifkan Media Sosial Dengan Konten Perdamaian

12/08/2022
thumbnail bulletin jum'at al-wasathy

Bulletin Jum’at Al-Wasathy | Edisi 037

12/08/2022
Anwar Sanusi

Stop Perdebatan Narasi Konfrontasi Antara Pancasila dan Agama

11/08/2022
Sekjen MUI Amirsyah Tambunan

Jelang 2024, MUI: Tolak Politisasi Agama dan Politik Identitas

10/08/2022

Trending Artikel

  • Pribadi Nabi Muhammad Saw Yang Introvert

    Pribadi Nabi Muhammad SAW yang Introvert

    81 shares
    Share 32 Tweet 20
  • Belajar Konsep Ketuhanan dari Surat Al Ikhlas

    62 shares
    Share 25 Tweet 16
  • Cara Islam Mengatasi Rasa Insecure

    53 shares
    Share 21 Tweet 13
  • Disebut Jokowi di Pengukuhan PBNU, Ini Profil Ainun Najib

    49 shares
    Share 20 Tweet 12
  • Definisi Dai, Ustadz, Mufti, Murobbi dan Syarat-syarat yang Harus Dipenuhi

    39 shares
    Share 16 Tweet 10
Putih E E
  • Redaksi
  • Kirim Artikel
  • Tentang Kami
  • Kontak Kami
  • Kerjasama
No Result
View All Result
  • Kajian
  • Gagasan
  • Kolom
  • Biografi
  • Peradaban
  • Gaya Hidup
    • Fashion
    • Kesehatan
  • Review Kitab
  • Bulletin
    • Bulletin Jumat
    • Bulletin Islamina

© 2021 Islamina - Design by MSP.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms below to register

*By registering into our website, you agree to the Terms & Conditions and Privacy Policy.
All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

This website uses cookies. By continuing to use this website you are giving consent to cookies being used. Visit our Privacy and Cookie Policy.