Heboh tumbal Pesugihan – Beberapa hari lalu media sosial dihebohkan dengan pengakuan seorang seleb atas dirinya yang baru saja dapat tawaran untuk mengisi acara arisan tente-tante Pondok Indah yang konon ada tumbal berondongnya. Peristiwa yang dipersoal netizen tentu bukan pada arisan tante-tante, tetapi pada tumbal pesugihan dengan mengorbankan berondong yang sudah dibeli untuk alasan kekayaan dan awet muda.
Perlu diketahui, dalam bahasa Indonesia, kata tumbal digunakan menyebut sesuatu yang digunakan menolak penyakit, atau persembahan (kurban) yang digunakan untuk meraih sesuatu yang lebih baik. Dalam tradisi masyarakat Indonesia, tumbal ini memiliki konotasi sesuatu yang dikurbankan. Seperti tumbal pesugihan, tumbal kecantikan, tumbal keselamatan, dan lain sebagainya.
Tumbal pesugihan identik dengan mengurbankan sesuatu dalam rangka meraup kekayaan yang berlimpah tanpa harus kerja dengan profesi yang mentereng. Biasanya, tumbal pesugihan ini dilakukan dengan mengorbankan nyawa, baik dari keluarganya seperti anak kandungnya, kerabat, maupun orang lain (Craig 2001).
Selain tumbal pesugihan, juga ada tumbal yang digunakan untuk tolak balak. Hampir di setiap daerah mempraktikkannya dengan cara yang berbeda. Ada yang menggunakan binatang yang disembelih kemudian diambil bagian dari tubuhnya saja lalu dilarungkan ke laut. Ada juga bentuk tumbal dengan melantunkan azan seperti yang dilakukan masyarakat Giriloyo, Yogyakarta (Arisandi 2013).
Jadi tumbal pesugihan dengan mengorbankan nyawa bukanlah satu-satunya bentuk penumbalan yang dipraktikkan oleh masyarakat. Craig dalam catatannya juga menemukan ada beragam cara yang digunakan oleh masyarakat dalam rangka mencari pesugihan. Ada yang melakukan sekutu dengan setan, ziarah ke makam keramat, hingga ritual tertentu di tempat-tempat keramat.
Dalam pengamatan Craig, ritual dan penumbalan juga tidak hanya untuk tumbal pesugihan, tetapi juga untuk tujuan lain seperti awet muda, tambah cantik, memiliki jabatan bagus, terkenal dan lain sebagainya. Dalam konteks ritual, biasanya para pelaku penyebutnya dengan ritual pesugihan dan ritual pengasihan.
Ritual pengasihan ini berbeda dengan ritual pesugihan yang harus melakukan tumbal pesugihan. Ritual pengasihan dilakukan dengan tujuan agar awet muda, naik jabatan, mencari jodoh, disenangi atasan, memiliki ilmu kebal atau berumur panjang.
Bagi masyarakat Jawa khususnya dan masyarakat Indonesia umumnya, adanya tumbal pesugihan dalam konteks “ritual” untuk mencari kekayaan sangat lazim terjadi. Meskipun praktiknya berbeda. Namun perbedaan mendasar itu yang melahirkan justifikasi normatif dari hukum agama. Clifford Geertz saat melihat tatanan orang Jawa dalam melaksanakan ritual keselamatan justru lebih memperlihatkan adanya kebersamaan ideologi antara varian masyarakat.
Hal itu juga sama halnya dengan masing-masing orang beragama memiliki kepercayaan adanya wasilah atau mediator untuk meraih sesuatu. Misalnya dilakukan dengan bacaan-bacaan kalimah suci tertentu, dengan ayat-ayat Al-Qur’an dan sejenisnya. Hanya saja ketika prinsip tersebut membaur atau berakulturasi dengan adat lokal maka praktiknya menjadi beragam.
Dalam sejarah Jawa, Ricklefs menyebutnya sebagai bentuk mistis sintesis. Di satu sisi orang tersebut tekun mempraktikkan ajaran agamanya, namun di sisi lain terlibat pada pengalaman mistis tradisional. Seperti halnya yang dilakukan para raja Islam di Jawa.
Namun jika ditarik pada sejarah Islam, Al-Qur’an sendiri merekam tradisi persembahan (jika tidak mau disebut tumbal) yang dilakukan oleh umat-umat terdahulu. Dalam surah Al-Maidah ayat 27. Dalam Tafsir al-Shawi diceritakan bahwa tradisi kurban orang-orang terdahulu adalah memberikan suguhan berupa makanan maupun hewan. Jika suguhan itu diterima tandanya suguhan itu akan hilang diambil oleh api yang turun dari langit.
Masyarakat Jahiliyah dahulu sangat populer dengan praktik seperti itu. Bahkan mereka menjadikan Ka’bah sebagai tempat untuk eksekusi kurban yang konon darah yang mengalir itu akan diterima oleh tuhan-tuhan mereka. Tradisi ini juga dilakukan oleh umat-umat lain yang dalam keyakinan beragama mereka mempercayai bahwa tuhan-tuhan mereka menghendaki nyawa untuk keselamatan, kemakmuran, dan kedamaian.
Namun praktik persembahan seperti tumbal pesugihan yang dilakukan oleh masyarakat Indonesia dari era pra Islam sebenarnya sudah bergeser. Hal itu karena islamisasi yang dilakukan oleh para penyebar Islam tidak melakukan perombakan secara radikal. Jadi, meskipun praktik tumbal pesugihan dengan mengorbankan nyawa masih ada saat itu, itu karena keyakinan sebagian orang yang masih dominan akan hal itu. Padahal tidak seharusnya dilakukan sebab tidak sesuai dengan etika agama dan kemanusiaan.