Bangsa ini kembali kehilangan putra terbaiknya, Ahmad Syafii Maarif, pada Jumat 27 Mei 2022. Beliau lahir pada 31 Mei 1935 di Sumpur Kudus, Sijunjung, Sumatera Barat. Dikenal dengan panggilan Buya; dalam kultur sosial Minangkabau, merupakan sematan penghormatan bagi kalangan cendekiawan religius seperti halnya Buya Hamka. Namun, Buya Syafii bukan saja putra daerah Minangkabau, melainkan telah melebur sebagai milik Indonesia. Karena itu, tersemat pula panggilan Guru Bangsa.
Guru Bangsa pada sosok Buya Syafii bisa dirunut ketika, baik usianya melampaui usia Republik ini. Lebih-lebih kontribusinya mengisi kemerdekaan serta mendorong semua lapisan anak bangsa berkomitmen menjaga persatuan meski berbeda latar belakang. Kiprahnya saat didapuk menjadi ketua umum PP Muhammadiyah pada tahun 1998, adalah pembuktian saat bangsa ini sempat dicekam gejolak perpecahan. Yenny Wahid (2022) menilai Buya Syafii –dan Gus Dur– adalah sosok yang mendekatkan Muhammadiyah dengan Nahdlatul Ulama (NU) yang pernah kurang harmonis karena posisi politik dan persoalan amaliah keagamaan.
Bersama Gus Dur, Buya Syafii mematrikan eksistensi NU dan Muhammadiyah sebagai saka guru Indonesia dari infiltrasi aneka ideologi yang hendak merusak dengan mendompleng nama agama. Tanpa bermaksud mengecilkan peran ormas keagamaan dan elemen masyarakat lainnya, tetapi bagi Buya Syafii, NU dan Muhammadiyah menjadi representasi arus utama masyarakat Islam di Indonesia. Karena itu, konsekuensi logisnya, kedua ormas tersebut mestilah menjadi rujukan utama dalam penyikapan pelbagai problem kebangsaan. Sorongan Buya bahkan selepas tidak menduduki jabatan struktural Muhammadiyah, tetaplah sama: NU dan Muhammadiyah harus berpikir besar, saling membantu, dan saling berbagi.
Buya Syafii prihatin atas fenomena mutakhir dengan kemunculan aksi-aksi intoleransi yang bersumbu paham ekstremisme. Buya Syafii menyebut polah semacam ini sebagai mentalitas “sumbu pendek”. Tak ada kejernihan dan keluwesan dalam memandang keragaman bagi yang bermental sumbu pendek. Merasa dirinya paling benar sembari menegasikan pihak lain. Paham dan aksi intoleransi inilah yang bakal mengancam kelangsungan kehidupan berbangsa-bernegara. Kelompok sumbu pendek lupa sekaligus lalai mengingat arti keberagaman yang dihasilkan dari kondisi kemerdekaan yang telah diupayakan oleh semua elemen anak bangsa lintas suku-lintas iman.
Melebihi usia Republik, Buya Syafii telah merasakan getirnya masa kolonialisasi. Beliau merupakan saksi hidup perjuangan kemerdekaan yang masih awas dan kritis terhadap segala rupa bentuk penyimpangan; baik penyimpangan dalam konteks kehidupan keberagamaan hingga kehidupan berbangsa dan tata kelola bernegara. Karena itu, dalam banyak kesempatan, Buya Syafii kerap mengkritik keras siapa saja tanpa rasa canggung. Independensi sikap Buya Syafii tersebut hendaknya dimaknai sebagai bentuk kecintaan pada bangsa ini.
Buya Syafii beranjak dari ranah Minang menuju tanah Jawa. Sempat melanjutkan pendidikan di Amerika Serikat. Skema perjalanan akademik sekaligus harakah (pergerakan) seorang Buya Syafii menarik diurai. Beliau akhirnya kembali ke Indonesia. Mengabdi pada tanah air setelah tuntas mengenyam pendidikan doktoral. Walau berdarah asli Minang, tetapi beliau menetap di Yogyakarta hingga akhir hayat. Meski demikian, beliau tetaplah tergelari sematan Buya; penegas seakan dirinya tidak lupa beridentitas putra Minangkabau yang amat religius nan pandai. Beliau menempatkan secara pas makna keindonesiaan tanpa menanggalkan atribut kedaerahan.