Yang banyak terjadi adalah, muslim yang belajar agama lain itu berasal dari ustadz atau gurunya yang beragama Islam. Dampaknya, sering terjadi salah memahami agama lain. Misalnya, jika ingin tau tentang reinkarnasi, atau konsep trinitas, tidak cukup hanya bersumber dari guru agama Islam, tetapi seorang muslim dapat bertanya kepada tokoh agamanya langsung.
Ketiga
Belajarlah tentang agama lain dari kitab sucinya (jika memungkinkan). Daripada anda mendapatkan informasi yang tidak tepat, lebih baik anda dapat membuka dan mempelajari agama lain dari kitab sucinya.
Namun perlu dicatat, tidak semua agama / kepercayaan memiliki kitab suci. Selain itu, posisi kitab suci dalam setiap agama berbeda-beda. Karena posisinya (termasuk level sakralitasnya) berbeda-beda, maka membandingkan kitab suci satu agama dengan kitab suci agama lainnya tidak selalu tepat. Maka, anda kembali dapat bertanya kepada tokoh agamanya.
Keempat
Daripada hanya berasumsi dan melakukan penghakiman tentang agama lain, tak ada salahnya anda melakukan kunjungan kepada tempat ibadah, melakukan observasi secara langsung tentang bagaimana mereka ibadah.
Jangan lupa, ketika hendak melakukan observasi, anda harus minta izin terlebih dahulu. Sebelum masuk rumah orang lain, ketuk pintu dan minta izin. Jika izin diberikan, maka bertanyalah kepada tokoh agama di tempat ibadah tersebut, apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan selama berada di tempat ibadah.
Oh iya, melakukan kunjungan ke tempat ibadah agama lain tidak dilarang oleh Islam sejauh dalam kerangka niat untuk mempelajari agama lain. Jika anda tidak cukup percaya diri, masih was-was untuk melakukan kunjungan langsung, anda dapat melakukan kunjungan secara virtual. Bukalah Youtube, lihatlah bagaimana mereka beribadah.
Kelima
Jangan seketika melihat (atau membandingkan) agama lain dari sudut pandang agama kita. Ini bisa membawa anda kepada kesalahpahaman. Sama halnya dengan membandingkan nilai-nilai, prinsip dan tata cara dalam satu keluarga dengan keluarga lain. Ini bisa menjerumuskan pada penilaian salah-benar. Padahal, setiap keluarga memiliki nilai, prinsip dan tata cara yang berbeda-beda.
Misalnya, jangan pernah menganggap bahwa istri bekerja di ruang publik itu tipe ideal untuk mewujudkan keluarga harmonis (sakinah, mawaddah warahmah). Sebaliknya, jangan pula menuding bahwa istri yang bekerja di rumah pasti tidak berkeadilan gender. Setiap keluarga memiliki nilai, prinsip, dan standar yang berbeda-beda dalam menghadapi berbagai tantangan.