Mendengar istilah Islamisme, bagi sebagian orang mungkin terasa ganjil. Islam sendiri, tanpa adanya sufiks isme, sudah dipahami sebagai suatu ajaran dan kepercayaan dengan segenap norma dan nilai yang melekat. Menyandingkannya dengan akhiran “isme” seolah memberi makna baru kepada islam sebagai suatu ajaran atau pemahaman yang lebih eksklusif. Tetapi, benarkah istilah islamisme mengandung makna eksklusivitas? Beberapa keterangan berikut berupaya memberi titik terang untuk pertanyaan itu.
Dalam artikel ilmiahnya berjudul ‘Islamisme: Kemunculan dan Perkembangannya Di Indonesia’, pakar Sejarah dan Hukum Islam Dr. Siti Mahmudah M.Ag menuliskan bahwa Islamisme, secara konsepsi adalah suatu pemahaman agama (islam) yang dibangun untuk membentuk sebuah tatatan negara dengan berlandaskan syariah Islam1. Terbentuknya negara islam menjadi agenda utama bagi pergerakan kelompok Islamisme. Penerapan syariah islam sebagai landasan utama penatalaksanaan suatu negara adalah format wajib, dan oleh karena itu sistem tata negara yang tidak sesuai dengan syariat menurut interpretasi kelompok islamisme, dianggap melenceng.
Ide besarnya adalah ingin mengembalikan Islam seperti yang telah dipraktikkan oleh Nabi SAW di Madinah. Karena dalam pandangan kelompok islamisme, praktik Islam pada zaman itulah yang dianggapnya benar dan bersifat mutlak, tidak bisa ditawar dan tidak bisa diubah. Praktik beragama islam yang kerap kali mereka sebut sebagai “islam murni” dianggap sebagai praktek ideal dalam berislam karena tidak mengandung unsur Barat, betul-betul dari Tuhan dan tidak dipengaruhi oleh pemikiran manusia. Kelompok islamisme tidak menerima gagasan berbasis kontekstualisasi dan pemaknaan ulang sesuai perubahan zaman. Ajaran islam dimaknai secara skriptualis dan konservatif, sehingga selain dengan sudut pandang ini maka moderasi dan reintrepretasi tatanan beragama dianggap sebagai “bid’ah” dan itu artinya ditolak.
Dengan penjelasan tersebut, bisa kita tarik benang lurus bahwasannya istilah islamisme menggambarkan suatu pemahaman yang mengeksklusifkan ajaran islam. Di Indonesia, gerakan islamisme menjalar dalam tatanan hidup masyarakat dalam berbagai bentuk. Satu sektor vital yang juga tak luput dari persebaran pemahaman ini adalah sektor Pendidikan, baik dalam bentuk formal maupun informal, baik yang dikelola swasta mapun negara.
Gejala islamisme yang semakin menggurita di sektor Pendidikan telah mencapai tahap yang “alarming”, tidak hanya mencemaskan namun perlu ditanggapi secepatnya dan secara serius oleh pemerintah. Kekhawatiran ini tidak berakar pada sinisme terhadap kelompok tertentu, namun karena pemahaman islamisme yang dibawa bersifat doktrinal, eksklusif, tekstualis dan kaku, dan membuka ruang terhadap terjadinya kekerasan sehingga tidak sejalan dengan prinsip ideologi Pancasila yang mendorong terciptanya dinamika sosial masyarakat pluralis yang inklusif dan demokratis.
Meskipun terkesan terlambat, mengingat geliat gerakan islamisme telah bercokol di Indonesia bahkan sejak awal negara Indonesia dibentuk, namun arus perkembangan islamisme di dunia Pendidikan yang berkembang dengan pesat nan subur dalam 2 dasawarsa terakhir perlu mendapatkan perhatian khusus oleh otoritas yang berwenang. Pasalnya, sektor Pendidikan adalah ladang utama pembentukan karakter dan kualitas sumber daya manusia Indonesia. Mari kita kupas satu persatu geliat islamisme di sektor Pendidikan nasional baik yang dikelola swasta maupun pemerintah.
Geliat Islamisme di Lingkup Pendidikan Swasta
Di sektor Pendidikan swasta, kemunculan berbagai institusi Pendidikan yang menjual “karakter islami” menjadi fenomena yang tidak asing. Meski memiliki keunikan yang membedakan satu unit dengan unit yang lain, namun gambaran besarnya menunjukkan pola yang sama. Sebut saja menjamurnya Sekolah Islam Terpadu, yang meskipun tidak semuanya, namun pada umumnya menawarkan paket pedagogi dengan penekanan khusus pada subjek-subjek keagamaan dasar, seperti teologi (‘aqīdah), moralitas (akhlāq), dan praktik ibadah (‘ibādah). Nuansa islami diperkenalkan secara intens kepada para siswa di setiap aktfitas, baik yang bersifat inti maupun kegiatan tambahan. Symbol agama menjadi elemen penting dalam penguatan karakter siswa sebagai upaya untuk menanamkan kerangka Islamis ke dalam pikiran anak-anak didik, dan menumbuhkan komitmen mereka terhadap Islam sebagai persiapan untuk proses jangka panjang penerapan syari’ah.
Sekolah Islam Terpadu berhasil meracik satu formula yang menarik animo masyarakat, khususnya kalangan menengah atas di perkotaan yang membutuhkan jaminan pendidikan relijius yang mampu mengarahkan anak anaknya menjadi pribadi yang islami sekaligus modern. Terkait kontribusinya dalam mewujudkan gagasan islamisme, Prof. Noorhaidi, M.A, M.Phil., Ph.D dalam salah satu publikasinya mendeskripsikan bahwa Sekolah Islam Terpadu mengkombinasikan kurikulum nasional dengan pendidikan moral Islam, nilai-nilai dan kode tingkah laku Islami secara sistematik ke dalam mata pelajaran-mata pelajaran umum dan keagamaan serta melalui kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler. Sekolah Islam terpadu mengadopsi pendekatan pragmatis terhadap sistem sekuler dan sekaligus mengambil kesempatan untuk memajukan agenda Islamisme dalam kerangka sistem pendidikan dan situasi sosial-politik yang tengah berubah2.
Integrasi kurikulum Islam dan kurikulum Pendidikan nasional merupakan upaya adaptasi terhadap undang undang sistem Pendidikan Nasional yang berlaku dengan tetap berpegang teguh pada visi Sekolah Islam Terpadu. Inspirator pertama gerakan islamisme melalui jalur Pendidikan tidak lain tidak bukan adalah Hasan Al–Banna, seorang guru sekolah di Mesir dan pendiri Ikhwanul Muslimin di Tahun 1928.
Baca juga: Alasan Islamisme Tumbuh Subur di Beberapa Belahan Dunia
Prinsip dasar gerakan islamisme Ikhwanul Muslimin, sebagaimana yang kerap digaungakan oleh Al–Banna, bertumpu pada signifikansi pendidikan sebagai alat untuk meletakkan dasar reformasi Islam yang menyeluruh dalam enam bidang utama kehidupan: pengetahuan, politik, ekonomi, sosial, budaya dan hubungan internasional. Dalam pandangannya, pendidikan adalah kunci untuk mencapai reformasi radikal ini dan menegakkan Islam sebagai “tatanan komprehensif” (niẓām shāmil). Dia berpendapat bahwa upaya untuk mengubah masyarakat saat ini tidak dapat berhasil tanpa dukungan berkelanjutan dari kader yang berdedikasi yang siap untuk melaksanakan agenda revolusioner gerakan demi terbentuknya kembali kekuatan dan kejayaan islam yang hilang.
Visi inilah yang menjadi nafas pergerakan Sekolah Islam Terpadu pada umumnya dengan agenda terselubung membentuk kader kader militan demi membangun tatanan totaliter islam di semua lini kehidupan melalui reformasi radikal dan gerakan revolusioner. Perlu digarisbawahi bahwa reformasi radikal yang dimaksud tidak menutup pintu terhadap gerakan ekstrimis, sebagaimana banyak dilaporkan bahwasannya kelompok Ikhwanul Muslimin tidak segan berasosiasi dengan kelompok jihadis dan melancarkan aksi kekerasan baik dalam bentuknya yang tersamar yakni kekerasan simbolis hingga dukungannya terhadap aksi aksi terorisme yang merenggut nyawa banyak korban.
Sehingga patut dipertanyakan, dibalik animo pasar yang cukup tinggi terhadap institusi Pendidikan yang melekatkan diri dengan simbol-simbol islami, apakah secara umum masyarakat menyadari bahwasannya dibalik integrasi kurikulum nasional dan agama yang ditawarkan, institusi Pendidikan yang diharapkan, terdeteksi pada substansinya mendorong terciptanya agenda islamisme dan mengarahkan peserta didiknya untuk menjadi kader militan?
Pada titik ini, literasi masyarakat terhadap gerakan islamisme menjadi penting digalakkan. Meski pada umumnya setiap orang tua menginginkan anak anaknya untuk tumbuh sebagai pribadi yang taat dan religjius, namun dalam menentukan jenjang Pendidikan, orang tua tidak bisa bersikap “pasrah” dan “sembrono”. Orang tua tidak bisa serta merta percaya dan melepas kendali pendidikan anaknya secara sepenuhnya kepada pihak Sekolah dengan embel embel islami. Terlebih jika disinyalir ideologi yang diajarkan mengandung pemahaman islamisme.