Dan kekuasaan Tuhan meliputi Timur dan Barat (QS. Al-Baqarah [2]: 115)
Ayat ini dapat menjadi bahan refleksi dan pemikiran umat Islam, bahwa kekuasaan Tuhan meliputi Timur dan Barat. Al-Quran tidak pernah membedakan Timur dan Barat. Keduanya merupakan dua entitas yang diciptakan Tuhan untuk saling bahu-membahu, bersahabat, dan bersaudara. Sebab itu, Islam sebagai agama dapat berkembang di tanah kelahirannya, Timur-Tengah dan menjalar ke seantero dunia, termasuk Barat.
Namun, dalam realitasnya ada pihak-pihak yang terus membenturkan antara Islam dan Barat. Apalagi setelah peristiwa Perang Salib yang selalu menjadi argumen untuk membenturkan Islam dan Kristen, serta Islam dan Barat. Belum lagi sejarah kolonialisme yang terus menghantui perjalanan dunia Islam dalam meraih kemerdekaannya.
Edward W. Said (1935-2003) dalam Orientalism menggambarkan dengan apik perihal tabiat kolonialisme yang kerap merendahkan Timur, atau dunia Islam, dengan cara pandang pejoratif dan negatif. Pandangan ala oritentalis ini tidak berubah hingga saat ini, karena intensi negara-negara Barat yang tidak pernah berubah untuk menjajah tidak hanya secara politik, melainkan juga secara paradigmatik.
Yang paling populer, Samuel Huntington (1927-2008) dalam Clash of Civilization, secara eksplisit menyebut Islam sebagai musuh Barat. Sebenarnya yang menjadi musuh Barat tidak hanya Islam, melainkan juga konfusionisme. Huntington hakikatnya hanya melanjutkan nalar ala kolonialis yang tidak akan pernah berakhir, karena ada kepentingan politik kekuasaan yang dimainkan oleh kubu sayap kanan di negara-negara Barat, khususnya Amerika Serikat dan Eropa.
Dalam konteks umat Islam sendiri, intensi benturan antara Islam dan Barat juga sering muncul sebagai reaksi dari intensi politik yang muncul di Barat. Kelompok-kelompok ekstremis yang tumbuh di berbagai belahan dunia, termasuk di dunia Islam dan Barat juga menjadikan narasi yang sama dengan para kaum fundamentalis dan ekstremis di Barat.
Kasus pemenggalan kepala seorang guru di Paris, Perancis, yang dilakukan oleh seorang Muslim yang berafiliasi dengan ISIS (Islamic State of Iraq and Syria) dapat menggambarkan ekstremisme bagi sebagian Muslim merupakan reaksi atas fundamentalisme dan ekstremisme yang juga dipedomani orang-orang Barat. Kebencian terhadap Nabi Muhammad SAW yang sebenarnya disebabkan narasi politik yang disebarluaskan oleh para intelektual zaman kolonialisme.
Olivier Roy (2017) dalam Who Are The New Jihadis? menggambarkan dengan sangat baik generasi baru Muslim di Eropa yang hidup dalam suasana kebatinan dan politik yang kerap menindas dan tidak mengakui eksistensi mereka. Mereka kerap diperlakukan secara diskriminatif dan tidak diterima sebagai bagian dari Eropa.
Padahal begitu banyak pemain sepak bola di Eropa yang beragama Muslim dan menjadi pemain bintang yang mengharumkan negara mereka. Misalnya, Zidane, Paul Pogba, Karem Benzema, Mesut Ozil, dan lain-lain.