Islamina.id – Sebagai manusia yang harus dihadapkan dengan keberagaman, maka toleransi menjadi pondasi utama terciptanya hidup harmonis dan saling berdampingan satu sama lain.
Titik tekan dari toleransi ini adalah mampu bersikap memberikan kebebasan terhadap orang lain untuk menjalankan keyakinan serta mengatur hidupnya dan menentukan nasibnya masing-masing. Adapun selama menjalankan itu tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip terciptanya ketertiban dan perdamaian (Umar Hasyim, 1979).
Baca juga: Islamisme dan Geliatnya di Kancah Pendidikan Nasional
Anak-anak sekolah yang merupakan agen perubahan sudah seharusnya dikenalkan dengan toleransi secara konseptual maupun praksis sejak dini mungkin. Karena hal tersebut sangat berpengaruh dalam kehidupan sehari-hari siswa.
Ini penting sekali, khususnya di Indonesia sebagai Negara yang multikultural. Sehingga sangat terlarang jika di sekolah, khususnya yang berbasis Sekolah Negeri justru menjadi sarang intoleransi.
Contoh kasus seorang Guru SMA Negeri di DKI baru-baru ini yang mengajak murid-muridnya secara massif untuk memilih ketua Osis seagama sangat melukai asas Sekolah Negeri yang seharusnya menjunjung tinggi Bhineka Tunggal Ika. Beberapa pertanyaan mungkin perlu diajukan, di antaranya:
Apa motif guru tersebut meminta murid-murid untuk pilih yang seagama? Apa kaitannya dengan latar belakang guru tersebut? Apakah motif politik ataukah ideologis?
Semua pertanyaan tersebut bisa dijawab dengan simple, yang pada ujungnya adalah membuat kesimpulan “radikal” dan “intoleran” terhadap apa yang dilakukan oleh guru tersebut.
Peristiwa semacam ini yang sangat perlu diwaspadai oleh semua pihak, mengingat para pengajar keagamaan dan pembina rohaniawan siswa sangat menentukan arah faham keagamaan siswa yang ke depannya menjadi cerminan kehidupan mereka.
Data Survei
Terdapat beberapa survei terjadinya radikalisme dan intoleransi di kalangan pelajar usia SMA/SMK yang disebabkan oleh pengaruh faham keagamaan. Seperti yang dilakukan oleh Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP) pada Oktober 2010-Januari 2011.
Hasil survei terhadap siswa di 100 sekolah menengah (SMP dan SMA) di Jakarta menunjukkan bahwa mayoritas siswa setuju atas penyegelan rumah ibadat agama lain.
Beberapa penyebab pandangan keras siswa seperti ini di antaranya adalah kekecewaan siswa terhadap berbagai kondisi nasional dan Internasional yang dianggap timpang, selain juga pengaruh dari media sosial.