Islam tidak hanya mengakui hak hidup manusia beserta kebebasan dan keselamatannya,[1] tetapi juga menganggap itu sebagai kewajiban suci bersama dan perorangan, berangkat dari prinsip bahwa manusia merupakan khalifah Allah ‘Azza wa Jalla di muka bumi yang dituntut untuk menegakkan keadilan bagi seluruh makhluk. Siapapun yang melakukan ketaatan kepada Allah dan menegakkan hukum secara adil di antara para makhluk, maka ia adalah khalifah Allah.
Allah ‘Azza wa Jalla telah memuliakan manusia di langit dengan menyebutnya di tempat tertinggi dan mensujudkan para malaikat di hadapannya. Sehingga tidak heran bila ia juga dimuliakan di muka bumi dengan dianugerahi akal, keinginan, dan logika, selain berbagai kekuatan dan petunjuk dari para rasul serta kitab suci. Al-Thabrani meriwayatkan, bahwa Rasulullah Saw. bersabda, “Di hari kiamat tidak ada yang lebih mulia bagi Allah dari para anak Adam.” Beliau ditanya, “Ya Rasulullah, dan tidak juga dengan para malaikat?” Beliau menjawab, “Tidak juga dengan para malaikat. Para malaikat sama dengan kedudukan matahari dan bulan,” [HR. al-Baihaqi].
Pemuliaan manusia mencakup hak menjaga hidupnya dari gangguan dirinya sendiri atau dari pihak lain. Sebagaimana ditegaskan dalam firman Allah ‘Azza wa Jalla, “Dan janganlah kamu berbunuh-bunuhan sesama sendiri,” [QS. al-Nisa`: 29]; “Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah [membunuhnya], melainkan dengan suatu [alasan] yang benar,” [QS. al-Isra`: 33]. Ayat-ayat ini mengisyaratkan agar manusia menjaga dirinya dari apapun yang sekiranya dapat membayakan dirinya, seperti kemiskinan, kelaparan, penyakit, penggelandangan, penyiksaan, cemoohan, penghinaan, pengucilan, spionase, buruk sangka, gunjingan, fitnah, dan segala macam bentuk kezhaliman.
Dengan sifat kemanusiaannya manusia memiliki kemuliaan/kehormatan tanpa melihat jenis, warna, keyakinan, dan berbagai bentuk status atau pengakuan sosial. Kemuliaan itu berlaku baik saat ia masih hidup maupun saat ia mati. Dzat kemanusiaannya harus dihormati. Sebuah hadits menyebutkan, “[Suatu hari] ada sebuah janazah [yang digotong] lewat di depan Nabi Saw., dan beliau berhenti [memberi penghormatan]. Lalu dikatakan kepada beliau, ‘Itu ada janazah orang Yahudi.’ Beliau bersabda, ‘Tidakkah ia juga manusia yang bernyawa?” [HR. al-Bukhari]. Memusuhi manusia yang sudah mati sama seperti memusuhinya pada saat ia hidup. Islam dengan sangat tegas melarang untuk menyakiti manusia. Sebuah hadits menyebutkan, “Sesungguhnya Allah akan memberi siksaan di hari kiamat kepada orang-orang yang menyakiti manusia di dunia,” [HR. Imam Ahmad].
Islam menjaga kehidupan pribadi manusia dengan melarang prasangka buruk, memata-matai, dan menjadikan tempat tinggalnya sebagai tempat terhormat. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman, “Jika kamu tidak menemui seorangpun di dalamnya, maka janganlah kamu masuk sebelum kamu mendapat izin. Dan jika dikatakan kepadamu, ‘Kembali [saja]lah,’ maka hendaklah kamu kembali. Itu bersih bagimu dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan,” [QS. al-Nur: 28]. Selain itu, Islam juga menjaga kehormatan manusia dengan menyariatkan sanksi pengusiran bagi siapapun yang merusak kehormatan manusia.
Al-Qur`an telah memberikan banyak contoh dalam hal pengakuannya terhadap potensi berpikir dan kebebasan berekspresi manusia melalui ajakan terhadap akal untuk melihat segala sesuatu yang ada di dunia ini, juga melalui berbagai contoh dialog antara para nabi dengan kaumnya dan bahkan dengan musuh-musuhnya, yang menunjukkan dengan sangat jelas bahwa para nabi senantiasa menggunakan petunjuk akal sehingga lawan-lawan bicara mereka kerap dibuat terpojok dan bungkam.
Dialog-dialog yang disajikan al-Qur`an antara Allah ‘Azza wa Jalla dengan para malaikat dan para nabi selalu kental dengan nuansa kebebasan berekspresi dan berpendapat. Hal yang menarik, al-Qur`an juga menampilkan dialog antara Allah dan iblis sebagai makhluk-Nya yang suka membangkang. Di sini Allah membiarkan dan mendengarkan iblis berbicara beradasarkan pendapat dan argumentasinya sendiri.
Di dalam sejarah Rasulullah Saw. bersama para sahabat, kita juga melihat bagaimana penghargaan mereka terhadap akal dan pendapat. Rasulullah Saw., sebagai penyampai wahyu, selalu melapangkan dada menerima berbagai pendapat yang berbeda dengan pendapat beliau sendiri. Beliau sering memotivasi para sahabat untuk melakukan ijtihad dan menyampaikan pendapat mereka sendiri secara independen. Beliau bersabda, “Salah seorang dari kalian tidak boleh ada yang menjadi bunglon (penjilat) dengan mengatakan ‘[pendapat]ku sama dengan orang banyak,” [HR. al-Tirmidzi]. Tidak mengherankan bila beliau membentuk madrasah (tempat belajar) guna melahirkan tokoh-tokoh besar yang ahli dalam berbagai bidang kehidupan. Sehingga, setelah sekian tahun berjalan, dari padang pasir yang sangat tandus terciptalah sebuah peradaban yang besar dan agung; setiap aliran pemikiran dan politik di dalam dunia Islam pasti dipelopori oleh seorang sahabat Nabi Saw. sebagai peletak dasar pertama. Hal ini terjadi karena beliau selalu memberikan ruang kebebasan kepada para sahabat untuk berijtihad.