Islam bagi banyak orang masih diyakini sebagai agama yang paling benar, tanpa ada kesalahan sama sekali, sedangkan orang lain adalah terperosok pada kesesatan. Dukungan Al-Qur’an (QS. 33;40) bahwa Muhammad sebagai penutup nabi, Islam sebagai agama yang paling sempurna (QS, 5:3), umat Islam mengganggap bahwa agama diluar dirinya adalah salah. Akibatnya, muncul sebuah pertentangan, clash, konflik, pertumpahan daran lantaran adanya truth claim tersebut. Pemahaman orang lain dipaksakan harus sama dengan pemahaman dirinya. Bahkan, dalam internal Islam, pertentangan, konflik yang didasari oleh perbedaan pemahaman seringkali mencuat adanya.
Perlu ditegaskan, bahwa Islam adalah agama yang tidak keluar dari historitas manusia. Islam yang kita anut sekarang ini bukanlah Islam yang lahir secara instan, tanpa proses jalur manusia dan sejarah. Pertanyaannya, benarkah agama yang kita anut sekarang ini sama seperti Islam pada saat Nabi ?. Tidakkah didalamnya terdapat perubahan atau bahkan distorsi besar-besaran yang dikakukan oleh sekelompok orang setelah Nabi wafat?. Dan, jika ternyata Islam yang kita anut sekarang ini berbeda dengan islamnya Muhammad, apakah kita termasuk kafir, murtad ataukah masih tergolong Islam.?.
Islam yang kita anut sekarang ini sudah berbeda jauh dengan Islam masa Muhammad. Sebab, konteks sosial-budaya-politik ternyata juga ikut membentuk karakteristik dari Islam. Jika pada masa Nabi, Islam tidak berhadapan dengan hegenomi Barat yang kapitalistik sekompleks sekarang, maka tentu konstruksi Muhammad terhadap Islam tidaklah sulit. Dan, tantangan zaman yang berkembang pula sudah tidak tertandingi lagi saat ini.
Sekalipun berbeda dengan Islam Muhammad, Islam sekarang ini tidak bisa disalahkan jika secara subtansi tidak melenceng dari Islam Muhammad. Islam pada masa Muhammad adalah Islam yang bergerak untuk membebaskan, toleran, populis, maka Islam sekarangpun harus demikian. Jika ternyata Islam yang kita anut ini sudah kehilangan daya kritisnya, pro-status qou, hanya menjadi simbol, maka Islam seperti itulah sebenarnya yang sudah melenceng dari Islam yang telah digariskan oleh Muhammad. Sekalipun ia rajin ibadah, berpuasa namun dalam aksi sosialnya justru bertentangan dari pesan dari ibadah itu, maka orang tersebut sudah mendistorsi Islam. Islam hanya dipahami sebagai sebuah ritualistik yang kering akan makna sosial.
Bahkan, Islam yang kita anut pada dasarnya berbeda antara yang satu dengan yang lain. Ada Islamku, Islam anda dan Islam kita. Jangan disangka Islam yang saya anut sama seperti Islam orang lain. Islam saya memilki karakteristik dan ciri tertentu, berbeda dengan Islam yang lain. Begitu seterusnya. Islam selalu masuk dalam ruang manusia secara plural. Munculnya madzhab Syaifi’ie, Hambali, Hanafi, Malik merupakan konsekwensi dari adanya perbedaan pemahaman tentang Islam. Itulah yang saya maksud sebagai “Islam saya, Islam Anda”.
Maka tidak mengherankan ketika muncul perbedaan pendapat tentang Islam. Munculnya madzhab Syafi’i, Hanafi, Hambali, Maliki fiqh, As’ariyah, Jabariyah, Mu’tazilah, Syiah dan sebagainya adalah salah satu contoh adanya perbedaan pemahaman tentang Islam. Singkatnya, pemahaman kita tentang Islam sangat terkait dengan lokalitas dan psikologi masing-masing muslim. Islam tidak bisa digeneralisir.
Disamping itu, Islam yang kita anut sekarang ini adalah Islam warisan orang tua dan lingkungan setempat, tidak berasal dari kehendak kita sendiri. Jika Bapak/ibu Islam dapat dipastikan anaknya akan Islam juga. Kalau si anak tidak mengikuti agama bapak/ibunya, akan mendapatkan perlakuan yang tidak adil, atau bahkan kekerasan. Karena inilah sebenarnya yang membuat Islam tidak bisa bergerak cepat seiring dengan perubahan zaman. Sebab, Islam yang kita anut ini tidak berasal dari kesadaran dan kritisisme yang mendalam. Sementara orang tua (bapak/ibu) tidak memiliki kesadaran pluralisme dan inklusivisme.