Setiap agama mengandung dua unsur penting; -dalam istilah Prof. Dr. Amin Abdullah-yakni normativitas dan historitas. Secara normatif, agama berisi doktrin, ajaran yang diturunkan Tuhan untuk manusia. Karenanya, ia “sunyi” dari intervensi manusia dan kebenarannya bersifat universal. Tujuan penurunan agama adalah untuk dijadikan sebagai mediasi menuju Tuhan (hablun min Allah)dan membangun hubungan baik dengan sesamanya (hablun min al-nas).
Robert N. Bellah menegaskan, agama diturunkan sebagai instrumen ilahiah untuk memahami dunia (2000). Ia turunkan sebagai way of life, untuk memanusiakan manusia dan sebagai problem solver atas segala persoalan yang dihadapi manusia.
Jadi agama, mempunyai dua fungsi dan makna yang harus dilaksanakan secara sejajar, yakni makna transendental, sakral dan makna imanental, profan.
Namun secara historis, agama penuh dengan campur tangan manusia. Sebab, agama tidak diturunkan dalam ruang hampa. Ia diturunkan dalam aneka spektrum historis-budaya tertentu, sehingga manusia mengambil bagian penting dalam agama. Sebab agama diturunkan hanya untuk manusia, yakni kemaslahatan manusia.
Peradaban, politik, sosial juga turut membentuk lahirnya agama tersebut. Islam senantiasa bergumul dalam realitas objektif yang menyejarah, ikut mewarnai dan membentuk kebudayaan manusia. Dalam bahasa antropolog Clifford Geertz, agama bukanlah sesuatu yang otonom. Misalnya, Islam turun di Jazirah Arab yang sangat kompleks dari peradaban manusia. Di Arab ada pelbagai macam suku, agama, ras yang saling mempengaruhi dan dipengaruhi. Maka ajaran agama sangat terikat dengan kondisi dan situasi sosial setempat, bersifat temporal-partikular. Sebab agama dengan budaya setempat berdialektika secara terus-menerus.
Islam yang ada di Arab tentu akan berbeda (misalnya dari aspek-aspek hukumnya) dengan Islam yang ada di Indonesia. Maka kebenaran agama dalam optik historitas bersifat partikular.
Dalam memahami suatu agama, kedua aspek penting dari agama ini selayaknya dibedakan, bukan dipisahkan. Sebab, hubungan antara keduanya ibaratnya sebuah koin (mata uang) dengan dua permukaan. Kedua permukaan koin ini tidak bisa dipisahkan, namun bisa dibedakan. Kedua aspek tersebut bukanlah dua entitas yang berdiri sendiri dan saling berhadap-hadapan, tetapi keduanya terajut dalam satu kesatuan, sehingga kedua aspek darinya tidak bisa dibuat tegang. Karena itulah, mengabaikan salah satu aspeknya berarti kita terjebak dalam salah satu ekstrem tertentu. Akibatnya, pemahaman tentang Islam tidak komprehensip, dan sepotong-sepotong.
Kemudian, Islam sebagai hasil konstruksi budaya lokal yang bersifat historis juga harus ditafsirkan dalam konteks sosial dimana Islam turun. Begitupula dengan teks agama. Alquran adalah gagasan Tuhan yang diterjemahkan oleh Muhammad dalam bahasa manusia sebagai respon terhadap lokalitas yang mengitarinya saat itu tidaklah untoucable. Karena itulah tafsir terhadap Islam mesti beragam sesuai dengan sejauhmana Islam dipahami. Kesemua tafsir tersebut adalah absah dan bisa diterima manakala dikontekstualisasikan dengan realitas sosial yang berada di sekitarnya.
Begitu pula yang terjadi dengan pemikiran keagamaan yang belakang ini terlihat kontroversial. Islam Liberal tidak akan menemukan konsensus bersama dalam memahami Islam dengan kalangan fundamentalis
Islam Fundamentalis akan meyakini dirinya yang benar sementara Islam Liberal adalah salah sama sekali, sehingga memerangi terhadapnya adalah salah satu bentuk ekspresi pelaksanaan ajaran agamanya, jihad (holy war).
Pesan Perdamaian
Jika kedua ekstrem gerakan keagamaan di Indonesia ini sama-sama memperhatikan kedua aspek di atas, maka menghakimi orang lain dapat dihindari. Memang, Islam secara normatif mengajarkan perdamaian, kerukunan. Namun ketika pesan tersebut diterjemahkan dalam realitas sosial yang beragam, maka ia bersifat historis-sosiologis. Meski secara normatif Islam mengajarkan perdamaian dan antikekerasan, dalam realitasnya agama mudah sekali dijalankan dan dipraktikkan dengan cara-cara yang angker, sangar, dan menyeramkan.
Pesan perdamaian dalam Islam berbeda maknanya dalam realitas sosial antara Islam liberal dengan Islam fundamentalis. Islam Liberal merujuk kepada subtansi dari doktrin agama -atau meminjam istilahnya Al-Syatiby adalah Maqashid al-Syariah-sekaligus kurang memperdulikan teks agama (non-literal), sementara Islam fundamentalis lebih menekankan pada makna tekstual dari agama, bukan pada subtansi. Akibatnya dalam memahami pesan agamanya tidak menemukan titik persamaan.