Islam hadir meninggikan derajat perempuan sekaligus menegaskan hak-haknya dengan cahaya dan keadilan. Syariat Islam yang toleran melingkupinya dengan prinsip-prinsip keadilan dan mengakui hak kehidupan yang mulia baginya—setelah sebelumnya menjadi sasaran kebencian semenjak kelahirannya—, memberikan hak bagiannya dalam warisan dan hak untuk mengurus hartanya sebesar apapun jumlahnya, baik digunakan untuk membeli maupun dijual, memberi hadiah ataupun mewasiatkan dan memberi hak penuh dalam pekerjaan yang dilakukannya. Islam juga telah memberikan hak-hak sosial yang adil bagi perempuan, yaitu dengan membolehkannya untuk menikahkan diri ataupun hak untuk menceraikan suaminya.
Di dalam Islam, perempuan mendapatkan segala hal yang menampakkan kepribadiannya yang sempurna, bukan dengan menggambarkannya sebagai pengekor bersayap patah, tetapi dengan kapasitasnya sebagai makhluk manusiawi yang dimuliakan Allah dengan akal. Sejarah Islam dipenuhi banyak sekali contoh tentang perempuan yang begitu cemerlang dalam menguasai ilmu-ilmu agama, baik fikih, hadits, metode penetapan hukum dan ilmu-ilmu sastra yang mencakup syair dan bahasa. Orang yang membaca sejarah sastra Arab tidak dapat mengingkari keberadaan puluhan pujangga perempuan sepanjang sejarah Islam.
Masalah perempuan dalam Islam tidaklah terbatas pada keunggulannya di bidang sastra dan ilmu pengetahuan belaka, namun telah memasuki bidang-bidang formal yang sangat penting. Sekedar contoh, dalam pasar kerja perempuan tampil sebagai akuntan pada zaman khalifah Umar ibn al-Khatthab ra., bahkan menjadi ketua pengadilan seperti ibu Khalifah al-Muqtadir. Saat itu tidak ada protes dalam bentuk apapun terhadap peran aktif perempuan dalam masyarakat Muslim yang sedang berkembang atau terhadap peran aktifnya bersama laki-laki guna mewujudkan cita-cita kebangkitan dalam masyarakat.
Kalau tidak demikian, maka tidak mungkin seorang perempuan mampu menduduki kursi pemerintahan dalam masyarakat Islam, yang mana kala itu kedudukan seorang ratu bagaikan pohon mutiara. Di zaman kita saat ini pun ada beberapa perempuan yang mampu menduduki jabatan perdana menteri di negara-negara Muslim seperti Pakistan dan Turki, di samping berbagai jabatan kontemporer lainnya, mulai dari jabatan menteri atau duta besar atau direktur sampai—bukan yang terakhir—jabatan-jabatan seperti dokter, guru, teknisi ataupun saintis dan sebagainya.
Hal itu tidak berarti bahwa sejarah perempuan dalam Islam selalu dipenuhi bunga-bunga mawar yang indah merekah, betapa banyak kelompok berpikiran sempit dan fanatik yang selalu berusaha menghalangi perempuan dari hak-haknya yang telah diakui oleh Islam, sebagaimana mereka juga berusaha menurunkan derajatnya, menanamkan sikap pesimis dalam diri perempuan dan melancarkan serangan yang terus menerus terhadapnya. Akan tetapi untungnya, aliran-aliran rasional sepanjang sejarah Islam selalu berpihak kepada barisan perempuan, membuka pintu-pintu di depannya yang telah ditutup oleh kaum tradisionalis yang berpikiran sempit.
Karena itulah perempuan meneruskan langkahnya mendaki ke puncak dalam peradaban Islam, bersandar kepada aliran-aliran rasionalisme yang mendukungnya, sebab di dalam aliran-aliran tersebut terdapat banyak hal yang melindungi peran aktifnya untuk memberikan sumbangsih dalam berbagai aktivitas kehidupan. Hasilnya adalah warisan tradisi yang banyak kita dapatkan sebagai buah dari kreativitas kaum perempuan dalam peradaban Islam. Cukup kita kembali melihat buku “al-Thabaqât” untuk melihat berita tentang kaum perempuan, dan buku “Tarâjum al-Nisâ`” yang menyajikan biografi kaum perempuan di segala bidang yang menunjukkan kekayaan luar biasa dalam tradisi tersebut.
Periode perkembangan eksistensi perempuan dalam peradaban Islam sempat terputus bersamaan dengan terjadinya goncangan politik dan kekalahan yang menyebabkan timbulnya fanatisme sempit dan tertutup. Namun bersamaan dengan itu pula kaum perempuan tetap berupaya untuk mendapatkan lebih banyak peran yang bisa mereka lakukan meski harus menghadapi tekanan dari kelompok-kelompok yang berpikiran sempit. Mereka tetap memimpikan hak-hak yang adil dalam pendidikan yang dilarang oleh para da’i berpikiran sempit pada masa-masa kemunduran. Keadaan ini terus berlangsung dari masa kegelapan hingga datangnya masa kebangkitan Arab modern yang rasional dan menjanjikan.
Oleh karena itu, bukanlah sebuah kebetulan jika suara pertama yang memperjuangkan pendidikan bagi perempuan berasal dari Universitas al-Azhar di Mesir, melalui seorang syaikh yang mengembalikan rasionalitas peradaban Islam dalam proses pembentukan pemikirannya. Di sini yang dimaksud adalah Syaikh Rifa’at Rafi’ al-Tahthawi yang pertama kali menulis di Mesir tentang kebebasan perempuan dan pentingnya pendidikan baginya. Hal itu dilakukan setelah kepulangannya dari Perancis demi melihat kemajuan perempuan di sana. Ia memimpikan agar perempuan di negaranya mendapatkan kedudukan yang sama dalam bidang kemajuan yang pantas untuk didapatkannya dengan melihat latarbelakang sejarahnya yang agung dan peradaban Islam yang besar.
Itulah sebabnya Rifa’at al-Thahthawi berjanji kepada istrinya secara tertulis, bahwa ia tidak akan menikahi perempuan lain, dan bahwa istrinya berhak menceraikan Rifa’at bila ternyata ia mengingkari janjinya. Rifa’at al-Thahthawi tetap meneruskan perjuangannya hingga berhasil—bersama muridnya, Ali Mubarak—membujuk Ismail Pasha sebagai penguasa Mesir pada waktu itu, untuk membangun sekolah pertama bagi pendidikan perempuan. Benar saja, sekolah itu kemudian didirikan pada tahun 1873, yang merupakan permulaan resmi menyebarnya pendidikan perempuan di Mesir secara keseluruhan. Dalam rangka pembukaan sekolah tersebut Rifa’at al-Thahthawi menulis sebuah buku indah yang berjudul “al-Mursyid al-Amîn fî Ta’lîm al-Banât wa al-Banîn”. Karena itulah ia dinobatkan sebagai pencetus pendidikan perempuan guna mempersiapkan generasi selanjutnya.
Kita tidak bisa mencegah diri sendiri untuk mengikuti cerita-cerita yang sangat banyak tentang perempuan dalam bab terakhir dari buku “‘Uyûn al-Akhbâr” karya Ibn Qutaibah. Dan kita tidak terkejut ketika mendapatkan pandangan-pandangan yang sangat diskriminatif terhadap perempuan dalam cerita-ceritanya. Pandangan-pandangan diskriminatif tersebut adalah warisan tradisi rakyat yang di satu sisi sangat menginginkan permusuhan terbuka melawan perempuan secara umum, menjelek-jelekkan kesannya secara mutlak, menghina keadaannya hingga tidak menyisakan sedikit pun ruang untuk membuat sebuah pengecualian. Perempuan dianggap sebagai asal-usul keburukan bagi seluruh makhluk. Ia adalah ular menyesatkan yang tidak mungkin dapat meloloskan diri darinya kecuali setelah membunuhnya. Ia adalah tali-temali setan, makhluk yang tidak berakal, tidak berilmu pengetahuan dan tidak memberikan rasa aman.
Betapa banyak cerita dan riwayat yang disebutkan oleh para pendahulu dalam konteks ini untuk membenarkan pandangan diskriminatif yang telah mengakar terhadap perempuan, yaitu cerita dan riwayat yang tercatat dalam ensiklopedi “‘Uyûn al-Akhbâr” pada bab tentang perempuan. Ibn Qutaibah telah menyebutkannya dalam judul Bâb Masâwi`u al-Nisâ`. Ia mengawalinya dengan cerita yang dinisbatkan kepada Wahab ibn Munabbih:
Allah Swt. menghukum perempuan dengan sepuluh hal: sakitnya nifas, darah haid, najis di perut dan kemaluannya, menjadikan warisan dua orang perempuan sama dengan warisan seorang laki-laki, persaksian dua orang perempuan sama dengan persaksian seorang laki-laki, menjadikannya kurang akal dan agama, tidak diperbolehkan shalat pada hari-hari haidnya, tidak diperbolehkan untuk mengucapkan salam kepada perempuan, mereka tidak diwajibkan shalat Jum’at ataupun shalat Jama’ah, tidak ada nabi perempuan dan tidak diperbolehkan untuk bepergian kecuali dengan wali.
Tidak diketahui dengan jelas apakah Wahab ibn Munabbih mengucapkan perkataan itu atau tidak, perkataan yang begitu jelas cacatnya, membalikkan kebatilan dengan kebenaran dan kebenaran dengan kebatilan. Dalam hal ini keadaannya sama dengan ungkapan rakyat yang kita warisi turun-temurun berupa ungkapan seperti, “Tidaklah seorang perempuan dilarang dari sesuatu kecuali ia akan melakukannya.” Serupa dengan ini ungkapan yang diriwayatkan dari Samrah ibn Jundub yang menisbatkannya kepada Rasulullah Saw., “Sesungguhnya perempuan diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok. Ia akan patah bila kamu berkeras untuk meluruskannya. Maka biarkanlah ia bengkok dan kamu hidup dengannya.”
Demikian pula ungkapan yang dinisbatkan kepada Umar ibn al-Khatthab ra., “Para perempuan adalah aurat, maka sembunyikanlah mereka di dalam rumah, obati kelemahan mereka dengan diam.” Dalam riwayat lain yang dinisbatkan kepadanya disebutkan, “Jangan menempatkan perempuan dalam ruangan yang gemerlap, jangan mengajarkannya menulis, sering-seringlah mengatakan ‘tidak’ kepadanya. Sesungguhnya kata ‘iya’ akan menggodanya untuk membuat masalah.” Perkataan tersebut diikuti oleh Ibn Qutaibah dengan sebuah riwayat yang dinukilnya dari al-Ashmu’i yang menisbatkannya kepada Aqil ibn Ullafah yang ternyata adalah seorang yang sangat pencemburu.
Pandangan yang mencerminkan kedengkian terhadap perempuan ini masih ada sampai sekarang. Benar bahwa pandangan tersebut mendominasi di satu masa dan merosot di masa yang lain. Dominasinya berkaitan erat dengan masa-masa kelemahan dan kekalahan, sedangkan kemerosotannya terjadi pada masa-masa kemenangan dan kegemilangan dalam peradaban Islam. Akan tetapi pandangan diskriminatif tersebut masih ada, tetap mengambil bagian hingga dalam tulisan-tulisan yang tidak seorang pun menyangka akan mendapatkan hal tersebut di dalamnya atau paling tidak dinisbatkan kepada sebuah buku yang tidak disangka oleh siapa pun bahwa pandangan diskriminatif tersebut berasal dari penulisnya. Di antara orang-orang itu adalah Ibn Muqaffa’ yang dianggap oleh kebanyakan orang sebagai salah seorang pemimpin gerakan rasionalisme di dalam peradaban Arab-Islam dan dikenal dengan ide-ide bijaknya yang tidak pernah berisi kefanatikan. Namun bersamaan dengan itu telah dinisbatkan kepadanya apa yang diriwayatkan oleh Ibn Qutaibah sebagai berikut: