Jakarta – Upaya penguatan deteksi dini dari ancaman virus radikalisme sangat urgent dan mendesak. Tidak hanya bagi apparat penegak hukum, tetapi juga masyarakat dan seluruh warga bangsa. Kelompok-kelompok radikal dan intoleran saat ini tengah bergerak untuk menguasai pop culture (kebudayaan pop) dan lifestyle (Gaya Hidup) masyarakat sehari-hari serta secara massif melakukan ideologisasi dari bangun tidur sampai tidur lagi.
Bahkan ideologisasi tersebut dilakukan baik secara online maupun offline. Kelompok Radikal dan Intoleran terus menerus berupaya mengubah cara pandang masyarakat yang ramah damai dan toleran menjadi radikal dan intoleran. Ini sangat berbahaya dan tidak boleh dibiarkan.
Sekretaris Lembaga Persahabatan Ormas Islam (LPOI), H. Imam Putuduh, SH, MM, menyebut pentingnya upaya penguatan deteksi dini ancaman virus radikalisme. Ia menilai, dalam hal mendorong kepekaan masyarakat terhadap virus radikalisme, dibutuhkan pemantik dan orkestrasi sebagai upaya deteksi dini.
“Harus ada kesatuan aksi, kesatuan komando, yang di orkestrasi, supaya bisa bergerak serempak. Jangan sampai masyarakat menjadi acuh tak acuh, tidak peduli, skeptis, apatisme terhadap isu-isu ini,” ujarnya H. Imam Putuduh,di Jakarta, Minggu (27/3/2022).
Ia melanjutkan, perlu adanya wake-up alarm untuk membangunkan kepekaan seluruh komponen masyarakat untuk siap siaga dan waspada terhadap ancaman radikalisme dan intoleransi yang merupakan benih awal dari tumbuh berkembangnya terorisme.
“Kita perlu wake-up alarm. Kalau masyarakat memiliki kewaspadaan dan kesiapsiagaan, maka ancaman radikalisme dan intoleransi pasti dapat diminimalisir sejak dini. Karena masyarakat menjadi garda terdepan yang terintegrasi dengan pemerintah, dalam hal ini BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme). Nah itu baru namanya kerja bareng,” jelas Gus Imam, panggilan karibnya.
Mantan Wakil Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (Wasekjen PBNU) periode 2015-2020 ini juga menuturkan bagaimana upaya efektif agar masyarakat memiliki resistensi terhadap doktrin radikalisme dan intoleransi yang disemai dan disebarkan secara Omni channel, online dan offline channel.
“Harus ada re-unifikasi media-media, baik itu media muslim, media interfaith, media dakwah dan media-media lainnya. Re-unifikasi ini untuk kepentingan bagaimana menjaga kedaulatan PBNU (Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI dan Undang-Undang Dasar 1945),” tutur Gus Imam.
Pasalnya, dewasa ini sudah memasuki era borderless atau informasi tanpa batas, yang memungkinkan proses ideologisasi dari luar maupun ideologisasi dari dalam negeri, masuk ke otak manusia dari bangun tidur hingga terlelap lagi. Maka re-unifikasi media menjadi kata kunci utama dalam upaya membangun kesedaran Bersama untuk melawan proses ideologisasi yang bertentangan dengan Ideologi Bangsa.
“Re-unifikasi media menjadi kata kunci yang paling utama, konten mereka (kelompok radikal dan intoleran) itu diproduksi melalui film, animasi, musik , sport dan sebagainya. Hal ini yang sangat signifikan bergerak, tentunya harus di counter, jangan dibiarkan dan tidak boleh terlambat,” jelasnya.
Sehingga masyarakat yang menjadi objek dari proses ideologisasi kelompok radikal terorisme kemudian diharapkan punya imunitas, dapat melakukan perlawanan dan sekaligus punya alternatif. Gus Imam menambahkan, tidak hanya secara online, namun di ranah offline haruslah diperbanyak pejuang Mujahid NKRI yang bekerja secara militan mempropagandakan perdamaian dan nilai nilai kebaikan.
“Harus ada ‘AGITPROP’, yaitu agitasi dan propaganda untuk kedaulatan dan kesatuan NKRI. Jadi harus banyak pejuang Mujahid NKRI. Kalau nggak ada agitasi dan propaganda kesana, tentunya masyarakat maupun media tidak akan terpicu untuk bergerak. Kalau dibiarkan ya otomatis negara kita jadinya kondisinya akan liar, tidak terkendali dan banyak noise,” ujarnya.