Coba kita renungkan tentang kilas balik peristiwa-peristiwa disintegrasi di Indonesia. Banyak diantaranya dilatarbelakangi oleh hal-hal yang berkaitan dengan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). Tidak dipungkiri persoalan SARA adalah isu yang sangat sensitif, mengingat bangsa Indonesia adalah negara yang pluralis, tentu persoalan tersebut sangat mungkin terjadi.
Disamping keberagaman bangsa Indonesia yang menjadi kekayaan, warisan, dan kearifan lokal, disisi lain keberagaman tersebut juga dapat menciptakan konflik yang menyebabkan disentegrasi. Keberagaman tersebut selain dapat menjadi kebanggaan yang dapat menjadi prestasi sehingga dapat dipamerkan, juga dapat menjadi sebuah tantangan dan ancaman, dimana Indonesia merupakan negara yang berbentuk kesatuan, maka butuh effort yang sangat besar untuk menjaga dan mempertahankannya agar senantiasa utuh.
Terutama dalam persoalan agama, banyak sekali konflik yang mengenainya. Entah karena terdapat oknum yang memprovokasi, kesadaran integritas rendah, maupun kepentingan politik atau golongan. Seperti kata pepatah yang mengatakan “Tidak ada asap jika tidak ada api” maka dapat diartikan sama dengan “tidak ada konflik jika tidak ada yang menyebabkan” begitulah realita yang terjadi di Indonesia ini. Konflik-konflik yang terjadi antar agama seringnya disebabkan karena adanya oknum yang menyulut api, kemudian akan merambat dan menjadi konflik yang berskala luas karena mudahnya penyebaran berita dan informasi oleh teknologi.
Sikap yang perlu ditumbuhkan dalam menghadapi persoalan pluralitas terkhusus yang berkaitan dengan isu-isu agama adalah moderasi beragama. Sebagian masyarakat Indonesia sudah memahami tentang konsep moderasi beragama, sehingga mengetahui bagaimana tidak menyebabkan konflik. Namun, sebagian masyarakat Indonesia yang lain belum memahami konsep moderasi ini. Karena itulah, konflik-konflik keagamaan masih eksis
Apa itu moderasi beragama?
Dikutip dari purbalingga.kemenag.go.id, moderasi menurut bahasa yaitu: bahasa inggris (moderation) diartikan sebagai standar atau keseimbangan. Sedangkan dalam bahasa arab (washatiyah) diatikan sebagai tengah-tengah, adil, atau berimbang.
Maka secara umum, moderasi beragama adalah sikap yang tidak berlebih-lebihan yang menjerumus pada keekstriman, memelihara keseimbangan antara sisi spiritualitas dan materi. Konteks materi disini adalah kedamaian dalam keberagaman.
Moderasi beragama dapat diwujudkan dengan satu kata magic, yaitu toleransi. Dengan kata yang lebih sederhana, toleransi lebih mungkin untuk dipahami oleh masyarakat. Berupa sikap saling menghargai, saling menghormati, dan tidak menjelek-jelekkan atau menyinggung orang yang berbeda dengan kita. Namun, dengan kata yang paling sederhana pun, masyarakat belum sepenuhnya mampu menerapkan dalam kehidupan sehari-harinya. Hal tersebut yang sangat amat disayangkan.
Banyak kasus yang disebabkan karena sikap intoleran yang dapat dijadikan contoh. Mulai dari yang paling sederhana yaitu aksi saling menyidir suatu agama di media sosial. Aksi tersebut memperlihatkan adanya oknum yang melontarkan pernyataan-pernyataan mengakui bahwa agamanya adalah yang paling benar, dan menghakimi agama yang lain adalah salah. Sikap tersebut akan menimbulkan disrespecting bagi orang yang melontarkannya, mendapat hate speech, bahkan war in social media. Karena bagaimana pun, hakikat sesungguhnya dari suatu agama adalah mengajarkan kebaikan, agama apapun itu tidak ada yang menjerumuskan pada kesesatan. Kita memilki cara masing-masing dalam meraih kebaikan, tetapi dengan jalan yang berbeda-beda. Maka yang dapat dilakukan adalah menghormati jalan orang lain yang sedang dilewati, bukan dengan melemparkan kerikil atau kotoran yang membuat orang tersebut merasa marah.
Kasus lain yang dapat dijadikan contoh adalah radikalisme yang menempati skala tertinggi disentegrasi agama. Seperti yang disebutkan di atas, bahwa pengertian moderasi beragama adalah sikap yang tidak berlebihan atau tidak ekstrim. Maka kasus radikalisme adalah contoh yang sangat tidak mencerminkan moderasi beragama, tetapi cenderung pada fanatisme yang merujuk pada keekstriman. Dalam konsep radikalisme, orang-orang yang memiliki pemahaman berbeda dianggap sebagai musuh yang harus dimusnahkan. Hal tersebut adalah sikap intoleran yang sangat tidak menghargai perbedaan.
Jika seseorang yang memahami makna moderasi beragama dan toleransi, orang tersebut tidak akan melakukan tindakan yang menimbulkan kegaduhan antar umat beragama atau bahkan sampai mengancam keselamatan nyawa, seperti bom bunuh diri oleh teroris yang mengatasnamakan hijrah atau agama. Tindakan tersebut justru akan menciptakan stereotip buruk bagi suatu agama yang menjadikannya ditakuti oleh umat agama lain. Selain itu, dapat pula mengakibatkan ketegangan sosial maupun kesenjangan sosial antar umat beragama.
Disebutkan dalam firman Allah, Surah Al-Hujurat:13 yang membahas keragaman yang ada di muka bumi ini, bahwa Allah menciptakan keragaman dengan suatu alasan
“Hai manusia, sesunggihnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu”
Ayat di atas menegaskan dengan jelas bahwa alasan Allah menciptakan keberagaman adalah untuk saling mengenal dan saling menyempurnakan, bukan untuk saling menyakiti apalagi menghilangkan.
Tolak ukur tercapainya moderasi beragama setidaknya ada tiga, antara lain: pertama, manusia paham bagaimana memanusiakan manusia. Apabila seseorang merasa sakit ketika dihina, maka jangan melakukannya kepada orang lain. Jika seseorang ingin dihormati, maka hormatilah orang lain. Jika seseorang melakukan kebaikan kepada siapa pun, walaupun orang lain tersebut berbeda agama, ras atau suku, insyaAllah kebaikan tersebut akan berbalik kepada orang yang melakukan. Dengan pola sikap tersebut, kedamaian akan mudah tercipta dan perbedaan bukan lagi sebagai pengganggu keharmonisan
Kedua, adanya kesepakatan bersama. Kesepakan diciptakan sebagai batasan, pedoman, dan persetujuan pihak-pihak yang terlibat dalam memelihara keharmonisan. Apabila seseornag melewati batas atau menyimpang dari pedoman, ada sanksi yang akan diberikan. Demikian itu sebagai contoh dan pelajaran bagi orang-orang lain agar tidak mengikuti dan meniru perbuatan-perbuatan yang salah.
Ketiga, terciptanya ketertiban sosial. Poin ini adalah puncaknya, dimana tujuan moderasi beragama adalah untuk menciptakan ketertiban sosial, keharmonisan, dan kedamaian. Agama diciptakan seperti oase di tengah gurun atau air di tengah dahaga yang sama artinya dengan pemersatu di tengah keberagaman.
Demikianlah moderasi beragama bekerja. Dalam konteks keindonesiaan, yang memang mempunyai pluralitas tinggi, terutama agama yang akhir-akhir ini sering menjadi sebab konflik disentegritas, maka urgensi moderasi beragamanya juga tinggi. Masyarakat harus mampu memahami konsep moderasi beragama dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Terutama bagi kaum intelektual yang melek pendidikan, harus mampu mendemokan kepada masyarakat lain yang belum memahami, bukan justru menjadi provokasi atau penyulut yang memulai konflik, mengangap dirinya benar karena berpendidikan. Hal tersebut tentu sangat miris jika terjadi.
Menerapkan sikap moderat bukan berarti lemah, bukan juga berarti tidak idealis atau bebas. Namun, sebagai bentuk penerimaan dan rasa syukur kepada Allah karena diciptakan pada lingkungan yang beragam. Moderasi dalam budaya keragaman terutama moderat beragama sangat diperlukan sebagai peredam, pendingin, pengurangan, dan pemelihara kerukunan, kedamaian, dan keharmonisan masyarakat. Setiap individu dapat mengaktualisasikan potensinya dengan serius dengan tetap menjaga toleransi sesama.
Tetaplah menjadi pribadi yang menghargai dan menghormati sesama.
Salam moderasi, salam toleransi!