Tradisi yang berlaku dalam masyarakat kita adalah berkumpul untuk mengenang sejumlah peristiwa sejarah, seperti kelahiran Nabi Muhammad, peringatan Isra’ Mi’raj, Malam Nisfu Sya’ban, dan lain sebagainya. Namun Islam mengenal tradisi perayaan keagamaan terbesar bukanlah termasuk yang disebutkan di atas, melainkan perayaan hari kelahiran kembali manusia, setelah menemukan kembali fitrahnya. Maka bukannya tanpa maksud jika Idul Fitri dilaksanakan sehari setelah menjalankan ibadah puasa selama bulan Ramadhan, bulan turunnya Al-Qur’an (Hadi, 2016).
Idul fitri atau yang biasa sebut hari raya fitrah merupakan hari raya kesucian manusia. Manusia pada dasarnya suci, oleh karenanya sikap-sikap manusia pun selayaknya menunjukkan sikap – sikap suci. Idul fitri juga dapat diartikan sebagai fitrah atau kesucian asal manusia, karena Allah menciptakan manusia sebagai makhluk suci yang sakral.
Mengenai arti penciptaan manusia, dan kedudukannya di alam semesta, Tuhan tak henti-hentinya memberi isyarat melalui ayat-ayat Al-Qur’an. Jika di dalam filsafat dan antropologi manusia dikenal sebagai homo sapiens (makhluk bijak) dan homo faber (manusia kerja), di samping sebutan lain seperti zoon politicon, animal rational, dan animal symbolicium, dalam al- Qur’an berkali-kali dinyatakan bahwa sifatnya sebagai makhluk berakal, bijak dan suka bekerja itulah yang membuat manusia mampu mentransendensikan dirinya, dan mengangkat martabatnya (Hadi, 2016).
Sebagai homo faber misalnya, manusia harus memiliki alat-alat untuk bisa bekerja, yang harus dibuatnya sendiri dengan akal pikirannya. Tetapi manusia tidak bisa berhenti dengan menjadi homo faber semata. Jika berhenti di situ, jalan untuk menyempurnakan dirinya juga terhenti.
Manusia harus memiliki Ilmu pengetahuan, bahasa dan kebudayaan – serta menguasainya dan mengembangkannya terus. Bahasa dan Ilmu pengetahuan adalah simbol dan sarana yang diciptakan manusia untuk bermacam keperluan hidupnya, seperti berkomunikasi dengan sesamanya dan juga mentransendensikan dirinya. Dalam surat at : Tin [95]: 4 – 5, al- Qur’an menyatakan, “sesungguhnya Kami menciptakan manusia dalam keadaan yang sebaik-baiknya (ahsan taqwim), kemudian kami kembalikan ke keadaan serendah-rendahnya (asfal as-safilin)”.
Menjadi Homo Sapiens dan Ridens di Hari yang Suci
Di abad Modern ini, dunia tempat hidup manusia mengalami perubahan dan perkembangan begitu pesat terutama ilmu pengetahuan dan teknologi. Ilmu pengetahuan dan teknologi memainkan peranan penting dalam hidup manusia, baik pada tingkat kehidupan pribadi dan kehidupan masyarakat maupun pada tingkat kehidupan religiusitasnya (Priyambono, 2014).
Sebagai homo faber manusia dituntut untuk terus menerus berkutat dan memprioritaskan kerja untuk memenuhi kebutuhan duniawinya, dan tanpa sadar ia teralienasi dari diri sejatinya, budayanya, alam, kehidupan politik orang lain, dan bahkan Tuhannya. Kemudian manusia di abad modern ini mulai bertanya-tanya tentang hidupnya, tempat dan tugasnya di alam semesta, keberadaannya bersama orang lain, dan hakikatnya kerohaniannya kepada Sang Ilahi.
Manusia di abad modern tidak pernah lelah untuk terus menerus mencari, mengejar, dan mewujudkan jati dirinya. Jati dirinya menampilkan pertumbuhan dan perkembangan dalam menjalani hidup. Ia ingin membuktikan kelangsungan hidupnya yang penuh dengan kebahagiaan di tengah gelombang arus zaman yang penuh dengan masalah seperti hilangnya arti diri, materialistik, konsumeristik, sekularisme, dan atheisme akibat dari penciptaan diri sebagai homo faber.
Dari sekelumit masalah manusia yang mulai kehilangan unsur spiritualitas dalam dirinya. Manusia perlu mengekspresikan dirinya kembali sebagai Homo Ridens yang memiliki dimensi sosial dan religius. Gambaran Homo Ridens dapat meredakan masalah pribadi, penyakit masyarakat, dan hilangnya kepercayaan kepada Yang Ilahi. Dan dapat mengarahkan kepada sosok manusia yang otentik, bermasyarakat, dan yang memiliki iman yang teguh.
Homo ridens pada dasarnya adalah makhluk sosial. Ia adalah manusia sosial ketika menggambarkan dirinya sendiri di tengah masyarakat. Homo ridens yang mampu menerima orang lain sebagai bagian dari hidupnya, yang dapat menyumbang visi, misi, dan tujuan hidup serta kebebasan, kesadaran, dan tanggung jawab untuk mengekspresikan diri di masyarakat.
Menjadi manusia pada dasarnya adalah memiliki Ilmu pengetahuan yang maju, hikmah yang penuh kearifan, logika atau cara berpikir, seni atau cara berekspresi atau mengekspresikan diri dengan baik dan akhlak. Itulah sumber kekuatan spiritual manusia di samping kemampuan mengendalikan hawa nafsu dan keimanannya. Dalam ayat-ayatnya Tuhan banyak memberi isyarat agar manusia mampu menjadi ketiganya baik homo faber, homo sapiens, maupun homo ridens.
Jika kita memahami pesan di balik perayaan Idul Fitri secara demikian, kita akan memahami betapa mulianya hari kelahiran kembali homo sapiens dan ridens ini, yang bukan sekedar homo faber. Kembali kepada fitrah adalah kembali kepada kualitas kemanusiaan yang membuat kita mampu menjadi Khalifah Tuhan di muka bumi [.]