Stoa atau penganutnya disebut sebagai stoisisme adalah para pelaku filsafat yang menjunjung tinggi seni soal gaya hidup. Menurut Bagir, dalam Stoisisme diajarkan mengenai cara menjalani hidup, aliran filsafat ini bukan merupakan sebuah agama melainkan sebuah ajaran moralis yang mengajarkan cara pandang yang mendalam tentang kehidupan (Bagir, 2005).
Mengenai sejarah kemunculan Filsafat Stoa ini, menurut Manampiring (2019), sejarah Stoisisme bermula pada saat Zeno, seorang saudagar kaya dari Siprus, melakukan pelayaran dari Phoenicia ke Peiraeus. Dalam pelayaran itu kapal yang di gunakan oleh Zeno karam dan ia terdampar di Kota Athena. Di Athena, ia menjadi orang asing yang hidup tanpa arah tujuan.
Pada suatu hari, Zeno bertemu dengan seorang filsuf bernama Crates yang beraliran Cynic dan memutuskan untuk belajar filsafat dengannya. Selain belajar filsafat dengan Crates, Zeno juga belajar dengan para Filsuf lain. Setelah itu ia juga ikut mengajarkan filsafat, ang dalam kegiatannya, Zeno di kenal senang mengajar di sebuah teras berpilar yang dalam bahasa Yunani di sebut dengan Stoa. Hal inilah yang menjadi dasar penyebutan nama Filsafat Stoisisme untuk filsafat yang diajarkan oleh Zeno (Manampiring, 2019).
Setelah Zeno, Filsafat Stoa terus dikembangkan dan menjadi pegangan para filsuf lainnya. Beberapa dari mereka yang namanya di kenal hingga saat ini adalah Epictetus yang merupakan seorang budak, Seneca yang merupakan seorang negarawan, dan Marcus Aurelius yang merupakan seorang Kaisar Romawi dan terkenal dengan karyanya berjudul “Meditations” yang juga menjadi salahsatu buku bacaan terbaik dalam mempelajari Filsafat Stoa.
Melihat dari berbagai macam latar belakang tokoh-tokoh Stoisisme ini, membuat Stoisisme dalam penerapannya terbebas dari sekat-sekat pemisah baik itu dari latar belakang individu dan juga kepercayaan yang di anut oleh seorang individu. Hal ini membuat Stoisisme tidak bertentangan dengan Doktrin ajaran agama apapun, baik itu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan lain sebagainya.
Islam dan Stoisisme
Ketika Stoisisme dihadapkan dengan Islam, kita dapat menemukan sebuah persamaan dalam inti ajaran mengenai cara menjalani hidup. Seperti misalnya prinsip Stoisisme “in accordance with nature” atau hidup selaras dengan alam. Prinsip ini mengajarkan untuk selalu menggunakan nalar dan akal pikiran dengan baik, sehingga kita dapat mengendalikan diri dan menjaga semangat untuk dapat melakukan usaha yang terbaik dalam hidup.
Prinsip hidup selaras dengan alam ini, dapat dikaitkan dengan konsep Sunnatullah dalam Islam yang dijelaskan dalam Al Quran, “Setelah ada kesulitan, pasti ada kemudahan,” (QS al-Insyirah: 5-6). Singkatnya, dengan kita dapat menggunakan nalar dan akal sehat dengan baik, maka sesulit apapun situasi yang kita alami dalam hidup akan dapat kita lalui dengan baik pula.
Selain itu dalam Stoisisme dikenal juga konsep mencintai takdir atau dikenal dengan istilah Amor Fati. Konsep mencintai takdir ini, tidak berarti seseorang hanya pasrah dengan keadaan tanpa adanya usaha untuk melakukan yang terbaik, tetapi konsep ini dalam Islam lebih dekat dengan konsep ikhlas dan berprasangka baik terhadap ketetapan yang Allah berikan setelah kita berikhtiar dan bertawakal untuk mendapatkan suatu hal. Melalui konsep Amor Fati ini, kita menjadi pribadi yang lebih siap dalam menerima segala sesuatu yang hadir dalam kehidupan kita yang seringkali tidak sesuai pula dengan keinginan dan harapan kita.
Melalui konsep hidup selaras alam dan mencintai takdir yang ada dalam Filsafat Stoa, juga kesamaan maknanya dengan konsep ikhtiar, tawakal, dan prasangka baik terhadap ketetapan Allah yang ada dalam Islam. Dapat kita pahami bahwa cara sederhana untuk dapat mengatasi overthinking adalah hidup selaras dengan alam, dengan cara berusaha atau berikhtiar semaksimal mungkin dan kemudian bertawakal dengan sebaik mungkin, serta mencintai takdir atau ketetapan Allah ketika sesuatu hal yang terjadi tidak sesuai dengan keinginan dan harapan kita.
Overthinking adalah suatu hal yang sangat dekat dengan pembahasan masyarakat kita saat ini. Overthinking merupakan sebuah bentuk kekhawatiran berlebih terhadap suatu hal. Overthinking ini, bisa terjadi kapan saja dan terus menerus berulang. Penyebabnya ada hal, terutama stres dan cemas dalam menjalani hidup sehari-hari.
Kebiasaan overthinking dapat mengurangi ketenangan dan kebahagiaan hidup, padahal ketenangan dan kebahagiaan dalam hidup adalah sebuah kondisi yang selalu diinginkan oleh setiap orang. Meski demikian, keadaan emosi negatif yang mana overthinking termasuk di dalamnya bukan tanpa solusi untuk mengendalikannya.
Jika di tinjau dari segi ajaran agama, terutama Islam, terdapat ajaran untuk beriktiar, bertawakal, dan mengimani takdir Allah. Selain dalam ajaran agama, terdapat pula sebuah aliran pemikiran Filsafat yang mengajarkan tentang cara mengendalikan diri dari dari segala emosi negatif, yang mana overthinking termasuk salah satu di dalamnya.
Baca Juga: Perjalanan Pemikiran Ibnu Rusyd: Pembelaan dan Purifikasi Filsafat (3)