Mimbar agama menjadi sarana paling efektif untuk menyampaikan banyak hal, paling khusus soal ajaran agama. Karena itu, mimbar agama sangat rentan disalahgunakan kelompok tertentu seperti radikalisme yang mengatasnamakan agama untuk melakukan penyebaran atau propaganda paham mereka. Dan itu berlaku di semua agama.
“Itu harus diakui karena faktanya mimbar agama dari dulu sampai sekarang. Seperti di Islam, dakwah-dakwah melalui mimbar agama seperti khotbah Jumat sudah sejak awal dipakai untuk menyampaikan ajaran Islam,” ujar Dr. Moch Syarif Hidayatullah, Ketua Umum Asosiasi Dai dan Daiyah Indonesia (ADDI) di Bogor, Kamis (30/6/2022).
Oleh karenanya, ada penjelasan juga di dalam hadis yang menyebut ketika khotib sedang berkhotbah, jamaah dilarang melakukan aktivitas lain selain mendengarkan khotbah itu.
“Supaya apa? Supaya khotbah itu bisa dipahami, bisa dimengerti lalu kemudian bisa diimplementasikan atau diamalkan,” imbuhnya.
Tapi, ungkap Syarif, dalam perjalanan penggunaan mimbar masjid ini yang khususnya di media khotbah dipakai untuk ideoligasasi untuk kepentingan ideologi tertentu seperti dalam Islam soal teologi maupun fiqih. Hal ini menjadi bahan penelitian dalam desertasinya yang secara khusus tentang khotbah jihad.
“Bahkan mimbar khotbah dipakai juga untuk memobilisasi massa, misalkan berjihad. Termasuk yang saya teliti dalam konteks perang Aceh itu digerakkan juga melalui mimbar khotbah,” ungkap Wakil Dekan Fakultas Dirasat Islamiyah UIN Syarif HIdayatullah Jakarta ini.
Syarif menilai tidak bisa dipungkiri bahwa mimbar dakwah di masjid atau tempat ibadah agama lain, sangat efektif untuk menyampaikan ajaran kepada jamaah dan para jamaah cenderung sangat memperhatikan apa yang disampaikan penceramah. Maka disinilah kemudian dipakai oleh kelompok kepentingan tertentu, kelompok ideologi tertentu untuk melakukan ideologisasi, untuk melakukan agitasi, politisasi, dan seterusnya.
Maka, menurutnya, inilah pentingnya buat para dai atau khotib atau penceramah untuk diberikan juga wawasan bahwa dalam berceramah atau dalam menyampaikan materi keagamaan di mimbar agama atau di kegiatan dakwah yang lain itu ada tanggung jawabnya. Baik tanggung jawab moral, tanggung jawab kepada Allah SWT terhadap apapun yang disampaikan.
“Saya sampaikan jangan sampai mimbar masjid itu dipakai untuk kepentingan agitasi, dipakai untuk kepentingan yang bukan kepentingan agama. Apalagi seperti biasa dalam musim-musim Pilpres, Pilkada, Pilgub itu ada kelompok-kelompok kepentingan yang sengaja masuk ke masjid untuk mengganggu,” tutur Syarif.
Menurutnya, hal ini harus disadari meski dalam pengamantannya, kadang-kadang ada Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) juga ikut- terlibat di situ. Padahal, DKM seharusnya menjadi wasit dengan mengingatkan para khatib atau ustaz atau dai agar tidak keluar dari perspektif agama.
“Intinya peran DKM sangat penting dimana sebelum khotib itu naik mimbar untuk mengingatkan materi dakwah agar tidak offside,” ungkapnya.
Namun ia mengakui hanya sebagian kecil masjid yang offside sehingga ikut dalam residu Pilpres atau residu politik praktis, dan sebagainya. Kemudian menggunakan masjid untuk kendaraan politik tertentu dengan mengagitasi masyarakat untuk diarahkan kepada pilihan tertentu, diarahkan untuk menyerang atau membenci pemerintah, menyerang apa yang kemudian mereka sebut sebagai rezim.
Lebih fatalnya lagi, ungkap Syarif, di sini ada orang-orang yang mengikuti atau mendengarkan khotbah itu misalkan ASN atau orang-orang profesional. Padahal mereka ingin salat di masjid tetapi kemudian dia mendengarkan agitasi itu, mendengarkan sesuatu yang sebetulnya diluar penjelasan agama.