Bulan Ramadan datang menyapa. Ibadah puasa yang menjadi rukun Islam keempat dilaksanakan oleh seluruh umat Islam di dunia. Puasa yang telah menjadi kewajiban di tiap Ramadan diharapkan dapat membentuk pribadi menjadi lebih baik lagi yaitu lebih bertakwa dan toleran.
Puasa di bulan Ramadan dalam perspektif Islam seringkali dikaitkan dengan momentum pembelajaran untuk mengendalikan nafsu manusia. Banyak hal yang sebenarnya halal untuk dikerjakan seperti makan dan minum, namun ketika berpuasa hal tersebut dilarang untuk dilakukan.
Guru Besar di Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Jakarta, Prof. Dr. Andi M. Faisal Bakti, M.A. menyampaikan bahwa ketika umat manusia bisa mengendalikan diri dari hal yang sebenarnya halal di luar bulan puasa. Tentunya umat pula harus bisa mengendalikan nafsu dari hal yang diharamkan agama.
“Makna puasa dari bahasa Arab ada dua kata, ada asshiyam, ada asshoum. Maksudnya adalah menahan diri sifatnya fisik, seperti makan, minum, hubungan suami-istri, apalagi yang tidak suami-istri, itu pasti dilarang. Menahan diri ini juga ada yang sifatnya non-fisik, seperti mengontrol nafsu makan dan nafsu untuk marah,” ujar Prof Andi M Faisal Bakti di Jakarta, Senin (27/3/2023).
Prof. Andi menjelaskan bahwa nafsu bisa berupa ketertarikan terhadap hal-hal yang sifatnya abstrak. Nafsu perlu dikendalikan agar tidak terjebak pada perbuatan buruk seperti mencela atau mengungkit kesalahan orang lain. Ibadah puasa merupakan kunci dalam membangun manusia yang kokoh kepribadiannya sehingga ia bisa sabar dan memaafkan orang lain. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Al-Quran bahwa umat diperintahkan berpuasa itu agar menjadi orang yang bertakwa.
Peraih gelar doktoral dari McGill University of Canada ini juga berpesan tentang pentingnya menjaga toleransi di bulan Ramadan. Toleransi bisa terbentuk ketika kita bisa mengedepankan prasangka baik terhadap orang lain. Membangun toleransi perlu dilakukan baik dari yang berpuasa kepada yang tidak, maupun sebaliknya.
“Kita harus membangun toleransi pada saudara kita yang berpuasa, jadi jangan kita tunjukkan di depan dia ketika kita makan. Sebaliknya, orang yang berpuasa juga harus mengetahui bahwa ada orang yang tidak puasa dan perlu difasilitasi. Misalnya seorang musafir atau orang yang sedang sakit. Di kota-kota besar seharusnya ada rumah makan yang tetap buka sehingga bisa melayani orang-orang yang tidak berpuasa, selama tidak dilakukan di tempat terbuka,” imbuh Prof. Andi.