Memasuki tahun baru Hijriah, sudah selayaknya kita sambut dengan semangat baru. Tahun baru Hijriah yang identik dengan proses perjalanan hijrah Nabi Muhammad SAW dari Mekkah menuju Madinah, merupakan pengingat bagi umat Islam agar selalu berproses meningkatkan kualitas diri.
Hijrahnya Nabi Muhammad SAW menuju Madinah membawa perubahan positif terhadap kehidupan kaum Muhajirin sebagai pendatang dan kaum Anshor sebagai penolong mereka. Dengan berhijrah, Nabi Muhammad bisa membangun masyarakat yang beradab dan toleran, walaupun di Madinah sendiri terdapat berbagai suku, agama, dan golongan.
“Makna hijrah adalah konsistensi pada perjuangan yang menghargai proses,” kata Kepala Makara Art Center Universitas Indonesia (MAC UI), Dr. Ngatawi Al-Zastrouw, S.Ag., M.Si., Rabu (19/7/2023).
Ia menerangkan, banyak peristiwa monumental yang terjadi pada bulan Muharram. Salah satunya adalah perjalanan hijrah Nabi Muhammad dari Mekkah ke Madinah. Banyaknya peristiwa besar dalam ajaran Islam yang terjadi pada bulan Muharram membuat para sahabat nabi dan ulama bersepakat, terutama Sayyidina Umar bin Khattab, bahwa tahun baru Hijriah dimulai pada satu Muharram.
“Semangat berhijrah selayaknya dilakukan dengan tidak melakukan perlawanan frontal hingga merusak tatanan sosial yang ada. Segala perjuangan itu harus dilakukan dengan cara yang baik, strategis, dan melalui perhitungan-perhitungan yang matang, baik perhitungan rasional, material, maupun situasional. Jangan karena mau hijrah, terus kemudian menabrak lingkungan, aturan, hukum alam, hukum sosial, atau norma yang berlaku. Nabi Muhammad telah memberikan contohnya,” terangnya.
Ngatawi menyebutkan, ada tiga makna dari semangat hijrah. Pertama adalah bahwa perjuangan itu harus dilakukan dengan menanggung risiko, baik fisik maupun non-fisik. Kedua, perjuangan itu harus melalui proses, baik proses sosial maupun kultural. Ketiga, perjuangan itu membutuhkan konsistensi dan komitmen, karena tidak ada perjuangan yang instant.
Ia pun mengomentari fenomena “Hijrah Milenial” yang sempat booming beberapa tahun terakhir di media sosial. Seharusnya, hijrah millenial dalam skup format atau bentuk itu sangat relevan dengan realita saat ini. Pada praktiknya, tidak semua aktualisasinya atau pengamalannya itu sesuai dengan keadaan. Sangat disayangkan jika semangat berhijrah ini hanya diartikan sempit pada lingkup ritual dan simbol keagamaan semata.
“Bahwa dalam agama ada simbol, mekanisme, dan ritual tertentu, iya. Tetapi sikap hijrah yang kemudian hanya berpaku kepada hal-hal yang sifatnya simbolik formal, ini yang membuat agama menjadi alat segregasi sosial. Sebagai jika ada yang tidak sesuai dengan simbol atau pemikirannya, akhirnya dikucilkan atas nama ‘Hijrah millenial,’ ini yang tidak sesuai,” imbuh Dr. Ngatawi.