Perang tak berkesudahan antara Palestina dan Israel kembali pecah dan memunculkan pro dan kontra dari berbagai negara di muka bumi. Dengan semakin banyaknya letusan senjata dan darah yang ditumpahkan, tidak hanya menimbulkan banyak korban jiwa dari masyarakat sipil disana, dikhawatirkan pula efek sampingnya juga akan terasa di negara-negara yang memiliki kedekatan khusus dengan Palestina.
Pengajar Kajian Terorisme pada SKSG (Sekolah Kajian Stratejik dan Global) Universitas Indonesia, Dr. Mulawarman Hanase, Lc., M.Hum., menjelaskan bahwa perang Palestina – Israel yang kembali terjadi harus diantisipasi sebagai angin segar bagi kelompok teror yang ingin menunggangi kesempatan ini.
“Para kelompok teror di seluruh dunia itu bisa diibaratkan sebagai rumput yang sebelumnya terkena musim kemarau dan kondisinya menjadi kering. Ketika memanasnya kembali perang Palestina – Israel ini, seakan-akan mereka adalah rumput kering yang tiba-tiba saja mendapatkan air yang banyak,” jelas Mulawarman di Jakarta, Jumat (20/10/2023).
Menurut akademisi yang pernah melakukan penelitiannya di Gaza ini, Israel sudah melancarkan serangan melalui jalur darat mulai dari beberapa hari yang lalu, sebagai aksi balasan terhadap penyerbuan yang Hamas lakukan. Banyak dari alutsista Israel yang sudah memasuki wilayah perbatasan di sekitar jalur Gaza. Bentrokan yang terjadi sekarang sebenarnya adalah buah dari rentetan peristiwa yang sebelumnya terjadi dan memicu kemarahan dari kedua belah pihak.
“Kalau kita lihat kebelakang, setidaknya lima tahun terakhir, banyak sekali peristiwa-peristiwa penting yang bisa menjadi latar belakang konflik saat ini. Beberapa faktor pemicu peperangan ini sebenarnya merupakan excess (dampak berlebih) dari peristiwa-peristiwa sebelumnya, lalu meletuslah peperangan secara besar-besaran,” imbuh Mulawarman.
Dirinya menyebutkan bahwa peristiwa kali ini merupakan bentrokan Hamas dan invasi Israel ke Gaza terbesar dalam 20 tahun terakhir. Hal ini bisa dilihat apabila dampak peperangan ini dibandingkan dengan beberapa peperangan sebelumnya.
Pada beberapa tahun kebelakang, tepatnya pada tahun 2017, ada agenda Amerika Serikat yang disampaikan oleh Presiden Donald Trump, bahwa mereka (AS) mendorong solusi pendirian dua negara (two-state solution). Jadi antara Palestina dan Israel sama-sama memiliki wilayah dan negara yang sah. Ini yang ditentang oleh Palestina dan banyak negara, khususnya negara-negara arab dan Indonesia.
“Solusi dua negara yang digagas oleh Trump ini dianggap jauh dari sikap netral, karena sangat menguntungkan Israel. Salah satu ketentuan dari two-state solution ini adalah pemindahan kota Yerusalem dalam wilayah Israel, yang ditandai dengan pemindahan gedung kedutaan besar Amerika Serikat ke Yerusalem. Dulu ketika rencana ini disampaikan ke publik, hal ini memicu reaksi perlawanan yang luar biasa, baik melalui kritik maupun aksi-aksi kekerasan yang terjadi di Palestina, khususnya di Jalur Gaza,” terang Mulawarman.