Indonesia adalah salah satu negara yang menganut konsep ketuhanan di dalam pembentukan konstitusinya. Hal ini ditunjukkan secara jelas pada sila pertama Pancasila. Dengan sama-sama meyakini pada Tuhan Yang Maha Esa, berarti secara logis memiliki konsekuensi berupa sikap toleran kepada mereka yang berbeda keimanannya.
Ketua Umum Pengurus Besar (PB) Mathla’ul Anwar KH. Embay Mulya Syarief, menjelaskan letak konsep ketuhanan dalam bingkai Pancasila. Menurutnya, semua manusia dilahirkan dalam keadaan bertuhan atau memiliki keimanan pada Tuhan yang satu. Hal ini sejalan dengan Indonesia yang berdasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa, sesuai Pancasila dan UUD 1945.
Dirinya berpendapat bahwa konsekuensi logis dari sama-sama meyakini adanya Tuhan yang satu, berarti seseorang akan semakin menghargai kondisi bangsa Indonesia yang sangat majemuk. Tidak hanya beragam agama, masyarakat Indonesia juga sangat berwarna corak suku dan budayanya.
“Bangsa kita ini berasal dari lebih 200 kerajaan, 700 bahasa daerah, dan ribuan suku yang tersebar di 17 ribu pulau. Walaupun berbeda agama, adat, budaya, dan berbeda karakter, tapi tetap bisa bersatu karena kita memiliki kesepakatan kebangsaan yang bernama Pancasila. Hal ini yang akhirnya disepakati menjadi dasar negara Indonesia,” terang KH. Embay di Serang, Banten, Rabu (5/3/2024).
Selain mengulas tentang beragamnya budaya Indonesia yang patut dilestarikan dan dijaga, KH. Embay juga berharap agar perbedaan yang dimiliki Bumi Nusantara ini tidak malah menjadi potensi perpecahan. Keimanan terhadap Tuhan Yang Maha Esa seyogyanya bisa menjadi platform untuk berpikir dan berdiskusi bersama, tak terkecuali bagi umat Islam.
Ulama kharismatik asal Banten ini beranggapan bahwa umat Islam sebagai mayoritas di Indonesia seharusnya mampu menjadi jembatan yang menghubungkan perbedaan yang ada. Menurutnya, Islam adalah agama yang mengajarkan perdamaian kepada pemeluknya, seperti yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad.
“Bangsa Indonesia yang mayoritasnya adalah beragama Islam, tentu harus bisa menjadi perekat antar golongan, karena sejatinya Islam adalah Agama yg mengajarkan toleransi. Hal ini pun telah dicontohkan oleh Rasulullah melalui Piagam Madinah yang mempersaudarakan pendatang dengan penduduk asli (Muhajirin dan Anshar), orang Arab dengan non-Arab, serta muslim dengan non-muslim,” imbuh KH. Embay.
Menurutnya, keragaman Indonesia merupakan rahmat Tuhan yang harus disikapi dengan penuh rasa syukur. Tidak banyak negara di dunia yang berhasil menaungi kemajemukan suku dan bangsa seperti Indonesia dengan ideologi Pancasila.
“Oleh karena itu kita patut bersyukur dengan harus terus merawat kebhinekaan yg merupakan takdir dari Allah SWT,” tuturnya.
Lebih lanjut, KH Embay mengungkapkan bahwa sebagai orang yang beriman dan bertakwa, sudah sepantasnya menyebarkan salam kepada sesama manusia. Sejatinya, salam adalah doa yang isinya mengharapkan kebaikan bagi yang menerimanya.
“Salam adalah doa yang terjemahannya adalah ‘semoga keselamatan bagi kita semua, dan semoga Allah merahmati serta memberkahi kita,’” terang KH. Embay.
Dalam menyebarkan salam, dirinya berujar bahwa masing-masing agama memiliki tata cara yang harus dihormati oleh semua. Selama rasa saling menghormati dapat dijunjung tinggi, maka pelaksanaan salam dapat menyesuaikan dengan kondisi yang ada.
Terkait dengan fatwa salam lintas agama, yang dikeluarkan MUI dan baru-baru ini banyak terlintas di ruang publik, KH. Embay menanggapinya dengan santai. Ia tidak mempermasalahkan terhadap pihak yang ingin menjalankan fatwa tersebut, ataupun tidak menjalankannya.
“Fatwa, jika dikontekstualisasikan dalam bahasa sehari-hari, memiliki arti ‘petuah.’ Maksudnya bahwa fatwa itu adalah hal yang boleh dipatuhi ataupun juga boleh untuk tidak dipatuhi,” ungkapnya.
Mengakhiri penjelasannya, KH. Embay menyoroti pentingnya menghayati tiap butir sila dalam Pancasila. Pancasila adalah lima gagasan pokok yang saling berkaitan, sehingga tidak mungkin memilih untuk menjalankan sebagian, namun meninggalkan butir sila lainnya. “Sebagai contoh, sila kelima Pancasila yang mengulas tentang keadilan sosial, tidak akan dapat terwujud jika aspek ketuhanan dan aspek kemasyarakatan diabaikan,” tandas KH. Embay Mulya Syarief.