Alhamdulillah, puji syukur kepada Allah yang terus memberikan Kesehatan dan kemampuan kepada kami redaksi Islamina untuk tetap istiqamah menerbitkan bulletin Islamina hingga edisi No. 59 ini. Dalam beberapa pekan ini kita masih dihangatkan dengan peristiwa yang menciderai hubungan antar agama seperti kasus penggerebakan mahasiswa yang sedang melakukan Doa Rosario. Fenomena ini tentu tidak hanya persoalan diskriminasi agama, tetapi memang ada paradigma yang tertumpuk lama dalam benak masyarakat tentang relasi mayoritas dan minoritas.
Istilah mayoritas-minoritas ini menjadi istilah sosial yang taken for granted. Ia diterima sebagai keabsahan status sosial umat beragama dalam kaitannya dengan berinteraksi sosial. Mayoritas mengontrol segalanya, sementara minortitas harus menunggu perizinan mayoritas. Dalam banyak kasus, minoritas akan dianggap sebagai gangguan ketika memperlakukan diri harus sama dengan mayoritas.
Minoritas sebagai gangguan dan terkadang ancaman tidak lepas dari cara berpikir kontestasi ruang sosial yang terbatas. Keengganan berbagi kelompok mayoritas dengan minoritas terhadap modal sosial, terkadang menciptakan gesekan yang berujung pada konflik.
Selain, persoalan relasi mayoritas dan minoritas yang cukup tidak berimbang, persoalan lain muncul adalah egoisme umat beragama. Ketika menjadi mayoritas, umat beragama seolah mendapat karpet merah yang istimewa dibandingkan dengan kelompok kecil yang dianggap selalu berisik. Kelompok yang berisik harus dinormalkan dan tidak boleh mengganggu ketenangan mayoritas.
Praktek semacam ini tentu berseberangan dengan semangat Islam dalam relasi umat beragama. Dalam sejarah Islam, perlakuan terhadap mayoritas dan minoritas mendapatkan porsi yang proporsional. Konstitusi Madinah menjadi bukti bagaimana relasi itu meniadakan mayoritas dan minoritas tetapi mengembangkan konsep kewarganegaraan. Bukan lagi umat beragama, tetapi umat Madinah secara umum.