Pada tanggal 30 Juni 2024 lalu, kelompok teroris Jamaah Islamiyah (JI) menyatakan pembubaran diri dan menyatakan ikrar setia kembali ke Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pernyataan pembubaran dan ikrar itu dibacakan tokoh senior dan mantan amir JI, Abu Rusydan bersama 16 tokoh dan pengelola pesantren berafiliasi JI, termasuk pimpinan tertinggi JI, Para Wijayanto.
Selesainya perjalanan JI sebagai suatu kelompok atau organisasi teroris menyisakan pekerjaan besar bagi Pemerintah Indonesia. Pasalnya, para eks JI ini perlu dirangkul untuk kembali ke pangkuan NKRI.
Pengamat terorisme Noor Huda Ismail, PhD., menjelaskan bahwa bubarnya kelompok JI tidak meniadakan usaha lanjutan dari Pemerintah Indonesia untuk membina mantan anggota JI. Pembinaan mantan napiter atau anggota jaringan radikal dan teror seharusnya tetap menjadi perhatian walaupun kelompoknya telah dideklarasikan bubar.
“JI bisa dikatakan bubar secara organisasi. Walaupun demikian, perlu dipahami bahwa secara pemikiran mantan anggota JI masih memerlukan pembinaan dan kontrol dalam jangka panjang. Komitmen mereka (terhadap NKRI) masih perlu dibuktikan. Pembinaan mantan anggota JI ini menjadi tugas semua pemangku kebijakan untuk proaktif menindaklanjuti itikad baik mereka karena bersedia ikrar setia pada NKRI,” jelas Noor Huda di Jakarta, Jumat (12/7/2024).
Pendiri Yayasan Prasasti Perdamaian ini berharap agar Pemerintah Indonesia bisa cepat bertindak melakukan deradikalisasi terhadap para mantan anggota kelompok teror, termasuk JI. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari adanya kekosongan arah bagi para mantan anggota, sehingga mereka yang telah mengungkapkan keinginan untuk bertobat, tidak kembali lagi pada perkumpulan lamanya.
“Jika tidak segera ada tindak lanjutnya untuk merangkul mantan anggota dari kelompok radikal, Saya khawatir justru akan muncul kekecewaan dari mereka para mantan anggota JI, karena ternyata setelah ikrar setia NKRI atau pembubaran JI tidak ada pembinaan lanjutan dari pemerintah,” imbuhnya.
Noor Huda menambahkan, keberlanjutan pembinaan resmi dari Pemerintah Indonesia inilah yang akan memperkuat komitmen mereka (mantan anggota JI), dan dapat menjamin bahwa pembubaran JI bukan semata-mata manuver dari kelompok JI untuk mengalihkan perhatian dan justru bergerak dibawah permukaan.
Tentang seberapa dekatkah kelompok JI dengan doktrin yang menghalalkan kekerasan untuk mencapai tujuannya, Noor Huda meyakini bahwa pola pergerakan JI cenderung lebih halus dibandingkan dengan kelompok seperti JAD atau JAT. Doktrinasi JI yang terakhir menilai bahwa Indonesia bukanlah negara atau wilayah konflik, sehingga tidak dianggap sebagai sasaran amaliyah yang tepat.
“Sejauh ini saya melihat JI tidak berpaham takfiri ekstrim seperti kelompok JAD (Jamaah Ansharud Daulah). Mereka (Jamaah Islamiyah/JI) lebih moderat dalam gerakannya. Dalam hal penggunaan kekerasan, kelompok JI hanya melakukannya di wilayah konflik. Di era kepemimpinan Para Wijayanto bahkan lebih spesifik lagi, JI hanya akan melibatkan diri dalam konflik di luar negeri (jihad global),” ungkap Noor Huda.
Dalam wawancaranya dengan beberapa eks JI, Noor Huda menemukan beberapa di antara mereka telah memiliki penafsiran baru soal jihad yang lebih moderat dan kontekstual. Artinya secara pemikiran mereka ini sangat dinamis dan terbuka dengan pemikiran-pemikiran baru.
Menurutnya, sebaiknya mereka yang telah ikrar setia NKRI ini sering-sering diajak dialog dan berdiskusi untuk memantapkan perubahan positif mereka, dari ideologi radikal menuju cinta NKRI. Tentunya proses konversi ideologi ini akan berjalan dengan baik jika program deradikalisasi diteruskan secara berkelanjutan.
Ia menambahkan, beberapa mantan anggota kelompok teror yang sebelumnya telah ditangkap ada yang menyatakan kembali setia pada NKRI dan berikrar dengan mencium bendera merah putih. Hal ini terjadi jauh sebelum kelompok JI menyatakan diri untuk membubarkan organisasinya.
Menurutnya, dibubarkannya JI dengan deklarasi amir dan para anggotanya seolah menjadi pelengkap optimisme Indonesia atas keberhasilan semua pihak menanggulangi radikalisme dan terorisme.
Sebagai seorang aktivis, Noor Huda berpendapat bahwa ikrar itu hanyalah sebuah permulaan. Lebih dari itu, yang lebih penting lagi adalah proses pembuktian dari ikrar yang telah terucap. Pembuktian ini memerlukan perjuangan jangka panjang yang menghadapi banyak tantangan.
Ia menerangkan, bahwa selain menghadapi pergolakan batin atas perubahan ideologi yang telah diniatkan, seorang yang berikrar mungkin akan diragukan tekadnya atas NKRI oleh orang lain yang belum sepenuhnya memahami kondisi mantan anggota jaringan radikal teror.
“Salah satu tantangan terberat mereka adalah ketika sudah bebas dari penjara dan kecewa dengan lingkungan, lalu pada saat yang sama ada godaan dari kelompok lamanya, mereka akan sangat rawan goyah untuk kembali bergabung pada jaringan lamanya. Sekali lagi, ikrar itu perlu pembuktian yang didukung oleh berbagai pihak,” pungkas Noor Huda.