Dekonstruksi mengingatkan bahwa teks atau potongan video tidak bisa mewakili keseluruhan makna
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, pendekatan dekontsruksi mengajarkan pada kita agar tidak langsung percaya atau mencela sesuatu. Ada banyak pertanyaan yang perlu kita selesaikan dalam pikiran kita sebelum menarik kesimpulan.
Jika kalian melihat konten informasi di pagi hari di timeline media sosial, pertanyaan-pertanyaan seperti “siapa yang memproduksi konten ini”, “apa motifnya”, “kenapa informasi seperti ini selalu muncul dan apa informasi yang tidak muncul” harus selalu mengitari otak kita sebelum menarik simpul informasi.
Dekonstruksi mengajarkan pada kita bahwa kendali berpikir ketika berhadapan dengan konten di media sosial berada di pengguna, bukan algoritma. Itu poin penting yang harus dipegang. Sekali lagi, kemerdekaan berpikir sangat dibutuhkan dalam melawan rezim kebenaran algoritmik.
Selanjutnya, kita akan belajar mengenai prinsip lain dari dekonstruksi dalam membaca konten media sosial. Pada umumnya, media sosial selalu menghadirkan dua warna; antara pro dan kontra, kanan dan kiri, kawan dan lawan, pengikut agama ini dan itu atau contoh lainnya. Inilah corak oposisi biner dalam berpikir yang selalu dipertanyakan oleh pendekatan dekonstruksi.
Gambaran dunia yang dikotomik ini harus didekonstruksi, sebab realitas yang sebenarnya jauh lebih rumit dari sekedar hitam dan putih. Narasi akan muncul seperti ini “jika kalian tidak mendukung gerakan Indonesia gelap, berarti kalian adalah pengikut penguasa”, “jika kalian pro pemerintah, berarti kalian anti rakyat”, “jika kalian tidak mendukung gerakan syariat berarti kalian kafir”.
Dekonstruksi mengajarkan bahwa narasi oposisi biner itu sangat berbahaya, karena menutup pintu dialog, mempersempit wawasan dan mengabaikan hal-hal yang tidak terkatakan. Selain dua kubu yang selalu berseteru, sejatinya ada narasi lain yang tak terkatakan yang telah diabaikan.
Berpikir dekonstruktif juga mengajarkan bahwa narasi atau konten di media sosial lahir dari struktur kekuasaan dan konteks tertentu. Ada kepentingan di balik narasi. Ada motif di balik konten yang disebarkan. Ada tujuan tertentu yang harus diperjelas sebelum mengatakan hal itu benar dan salah. Artinya, dekonstruksi mengajarkan agar tidak menarik kebenaran tergesa-gesa dari satu sudut pandang.
Contoh lain, saat seorang tokoh atau influencer berkata: “Demokrasi itu haram dalam Islam!”. Apa sikap kalian? Alih-alih langsung meng-amin-i atau mencela, dekonstruksi mendorong kita menggali : Apa sebenarnya definisi demokrasi yang ia maksud? Apakah dalam sejarah Islam tidak ada bentuk-bentuk musyawarah atau kesepakatan rakyat? Bagaimana pandangan ulama lain dalam hal ini?
Dengan cara seperti ini, kita tidak terjebak dalam fanatisme buta, tetapi juga tidak terkungkung dalam sinisme kosong. Kita belajar menjadi pembaca yang cerdas, pendengar yang kritis, dan pemikir yang merdeka.