Di banyak tempat hari ini, agama—termasuk Islam—sering direduksi hanya sebagai ritual untuk memuja Tuhan. Iman dipersempit maknanya menjadi sekadar keyakinan yang dibuktikan lewat doa, shalat, puasa, dan ibadah-ibadah formal.
Iman yang sempurna tidak sesempit itu. Ada dimensi yang lebih luas dan mendalam dari makna iman yang telah rapuh dalam sikap keumatan. Umat beragama tidak mampu mengaitkan iman dengan kemerdekaan.
Ada ayat penting dalam pandangan Al-Qur’an yang membuka peta jalan kemerdekaan iman yang memerdekakan kemanusiaan. Iman sejati bukanlah iman yang mengurung manusia di ruang ibadah, tetapi iman yang memerdekakan manusia dari belenggu ketidakadilan, kemiskinan, dan penderitaan.
Karl Barth seorang teolog terbesar dalam paruh pertama abad ke-20 ini telah membukakan jalan dalam tradisi Kristen tentang iman yang memerdekakan. Gagasan besar yang ia bangun bahwa Allah yang merdeka mengasihi manusia dalam diri Yesus Kristus dan memerdekakan kita dalam segala bidang kehidupan -politik, kesenian, ilmu pengetahuan dan terutama teologi dan gereja agar kita dapat hidup dalam perikemanusiaan sambil memuji dan memuliakan-Nya.
Iman yang hanya berkutat pada ibadah ritual tanpa melahirkan keberpihakan pada kemanusiaan adalah iman yang kering dan kehilangan ruhnya.
Dalam Islam, tidak sulit untuk mencari dalil dan rujukan tentang teologi kemerdekaan. Allah berfirman: “Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi, dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabat, anak yatim, orang-orang miskin, musafir, orang-orang yang meminta-minta, dan (memerdekakan) hamba sahaya; mendirikan shalat, menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila berjanji; serta orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan, dan pada masa peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya), dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 177).
Ayat ini menjadi landasan penting bagi terwujudnya konsepsi teologi kemerdekaan menegaskan tiga lapisan kebajikan yang membentuk iman yang memerdekakan:
- Kebajikan spiritual – keyakinan kepada Allah, hari akhir, malaikat, kitab, dan nabi adalah bentuk iman yang merdeka yang membebaskan dari belenggu spiritual yang menyesatkan. Iman harus merdeka dari belenggu “tuhan-tuhan” yang mengeksploitasi kemanusiaan. Karena Tuhan sejati adalah Tuhan yang memerdekakan umat manusia.
- Kebajikan sosial – kepedulian konkret kepada yang lemah, seperti yatim, miskin, musafir, peminta-minta, dan mereka yang tertindas merupakan bentuk ekspresi keimanan yang memerdekakan. Iman adalah dasar dari terbentuknya praktek memerdekakan orang lain.
- Kebajikan moral – menepati janji, sabar menghadapi penderitaan, dan berpegang pada kebenaran di tengah tantangan bentuk landasan nilai dan moral bagi para pemegang teguh teologi kemerdekaan. Tidak ada kemerdekaan tanpa kejujuran, penderitaan dan kesabaran dalam menggapai tujuan.
Ayat ini sebagai deklarasi Al-Qur’an bahwa iman sejati tidak hanya berdiam di hati atau tampak di ritual, tetapi harus berbuah pada pembebasan manusia dari segala bentuk keterhimpitan—baik ekonomi, sosial, maupun politik.
Al-Baqarah: 177 adalah “ayat revolusioner” yang membebaskan manusia dari kesalehan semu. Iman yang hanya berkutat pada ibadah ritual tanpa melahirkan keberpihakan pada kemanusiaan adalah iman yang kering dan kehilangan ruhnya.