Musibah seperti bencana alam merupakan bagian dari takdir Allah SWT. Artinya terkait dengan takdir itu tergantung dari sikap masing-masing. Kalau ridlo dengan takdir yang berarti ujian, sebaliknya bila marah bisa musibah itu bisa menjadi azab. Ironisnya, musibah atau bencana, terutama di Indonesia, justru ‘dimainkan’ kelompok radikal dengan mengklaim bahwa bencana itu akibat tidak diterapkan sistem khilafah.
Ketua Umum Asosiasi Dai-Daiyah Indonesia (ADDI)Dr. Moch. Syarif Hidayatullah, Lc., MHum, mengatakan bahwa keputusan apakah musibah atau azab berhubungan dengan persepsi dan perspektif. Artinya, hal itu belum final karena kondisi sekarang dengan zaman para nabi dahulu berbeda. Zaman para nabi dahulu mendapat jawaban langsung dari Allah SWT apakah adalah musibah atau azab.
“Dalam konteks itu perlu dipahami kalau bencana alam dalam kitab suci, termasuk Alquran, dijelaskan sebagai azab, itu sesuatu pelanggaran yang konkrit yang dijelaskan oleh Allah melalui para nabi, bahwa itu melanggar hukum Allah. Tapi itu ada para nabi yang memang mendapat wahyu yang menjelaskan terkait dengan masalah itu. Sementara sekarang tidak ada nabi, maka yang disampaikan kelompok yang mempolitisasi dengan menyebut bencana karena tidak menerapkan khilafah, itu asumsi dan bisa pada tahap tertentu ya cocokologi yang tidak berdasar,” kata Syarif di Jakarta, Jumat (2/12/2022).
Menurutnya, kalau persepsi seperti itu sama saja dengan ngawur. Apalagi negara Islam di seluruh dunia tidak ada yang menggunakan sistem khilafah. Buktinya lagi, negara-negara yang diidentifikasi sebagai negara kafir dan menggunakan sistem kafir oleh kelompok radikal, malah tidak terjadi bencana alam.
“Apakah betul di zaman khilafah tidak ada musibah? Itu juga ngawur juga, kalau kemudian menganggap di zaman khlafah tidak ada musibah atau bencana. Bahkan zaman Nabi saja ada bencana, banjir, wabah, dan sebagainya.
Juga di zaman Khulafaur Rasyidin, Syarif mengungkapkan, pada pemerintahan Sayyidina Umar bin Khattab selama kurang lebih 10 tahun terjadi paceklik atau pandemi. Padahal zaman Khulafaur Rasyidin itu adalah model sistem pemerintahan khilafah terbaik.
Menilik sejarah, katanya, dalam pemerintahan Khulafaur Rasyidin, hanya Sayyidin Abubakar Ash-Shiddiq yang wafat tidak dalam kondisi terbunuh, sementara tiga lainnya Sayyidina Umar bin Khattab, Ustman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib terbunuh karena musibah atau bencana berupa huru-hara. Itu adalah fitnah besar pertama bagi umat Islam.
“Kita berkesimpulan seperti apa , kalau fakta seperti itu. Pembunuhan itu musibah besar, meski bukan bencana alam. Apalagi ini khalifahnya. Apakah kita mengatakan pemerintahan khilafah tidak ada masalah? Ada noktah-noktah hitamnya juga. Ini belum kita ngomong daulah-daulah itu, nanti perebutan antar daulah berdarah-darah, karena kelompok yang ingin berkuasa melakukan cara-cara yang tidak smooth,” ungkap Syarif.
Ia menegaskan bahwa terlalu naïf kelompok radikal mengklaim bencana karena Indonesia tidak menerapkan sistem khilafah karena faktanya memang tidak demikian.
“Kita tidak boleh menanggapi bencana sebagai azab, gara-gara tidak menerapkan sistem tertentu. Sungguh itu sangat tidak berempati terhadap korban,” imbuhnya.
Ia menguraikan, tidak ada jaminan menerapkan khilafah tidak ada musibah karena musibah itu sesuatu yang memang bagian sunataullah. Dan sistemnya bekerja untuk memberi pengingat bagi umat manusia. Pengingat akan dosa, kesalahan manusia seperti ekspolitasi lahan yang berlebihan.
Apalagi terkait gempa bumi yang susah diprediksi dan faktor alam. Kebetulannya di Indonesia, berada di kawasan rawan gempa akibat lempengan-lempengan bumi sering bergeser.Seperti baru-baru ini gempa bumi di Kabupaten Cianjur, Syarif menegaskan itu bukan azab tapi sesuatu yang alami.