Menurut Wakil Dekan Fakultas Dirasat Islamiyah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini sebenarnya ulama seluruh dunia menyebutkan bawha pemerintahan yang menggantikan pemerintahan nabi tidak harus dalam bentuk khilafah seperti versi Hizbut Tahrir dan Khilafatul Muslimin. Bahkan lembaga fatwa resmi Mesir, Dar al-Ifta memfatwakan bahwa segala bentuk pemerintahahan, entah itu monarki atau republik atau bentuk apapun, selama orang bisa menjalankan syariat islam, selama menjamin orang mudah mencari penghidupan, itu sudah mencerminkan kekhilafahan yang menggantikan kepemimpinan nabi.
Ia mengungkapkan,khilafah itu sebenarnya bermakna sistem penggantian pemeirntahan atau kepempinan nabi dalam mengurus agama dan dunia. Tapi itu modelnya bisa macam-macam, bukan tunggal. Itu ditunjukkan model bagaimana Khulafur Rasyidin bergantian dan sistemnya tidak baku. Kedua ketika berganti menjadi daulah-daulah seperti Abbasyiah, Ustmaniyah, itu berbasis keluarga jatuhnya monarki.
“Ini hal-hal yang perlu dipahami bersama bahwa ini ijtihad. Kalau betul khilafah itu baku, sistemnya harus tunggal,” tukasnya.
Ia mencontohkan salat yang baku bentuknya karena itu syariat tidak bisa diganti. Subuh dua rakaat, dhuhur empat rakaat, dan seterusnya.
“Itu syariat, tapi kalau modelnya berganti bukan syariat tapi ijtihad. Makanya orang-orang yang selalu mendengungkan khilafah suka kebingungan ketika diminta untuk menjelaskan dalil-dalil khilafah yang jelas dari Alquran. Mereka khan suka ngaco jawabannya, gak clear,” paparnya.
Ia menjelaskan, beda kalau kalau ditanya apa perintah salat, langsung aqimus salat tegakkanlah salat, tunaikan zakat, puasa, dan sebagainya.
“Kalau khilafah gak ada di Alquran dan hadits. Bakan kalau merujuk literatur tidak ditemukan sebagai sistem khilafah, Yang ada kata imamah, kadang imarah. Kalau berganti-ganti itu pasti bukan syariat, itu ijtihad,” jelasna.
Fakta lain, ungkap Syarif, hampir semua negara Islam menolak sistem khilafah. Buktinya Hizbut Tahrir ditolak dimana-mana. Kenapa? Karena memang tidak sesuai, itu karena ada sekelompok orang yang ingin memaksakan kehendakknya ingin berkuasa tapi berbaju agama, terus kemudian seolah-olah ini bagian dari syariat. Padahal itu hanya haus kekuasaan tapi dengan memanfaatkan narasi yang diambil dari teks keagamaan, yang sebetulnya konteknya bukan tentang mereka, bukan tentang kekhilafahan yang mereka maksud.
“Betul, narasi seperti ini harus ada kontra narasi. Tokoh agama harus diajak bicara bahwa apa yang mereka sampaikan ini tidak berdasar dan itu ngarang belaka. Itu ngaco. Tiap kali ada musibah, kerusuhan, kegaduhan, mereka selalu tampil, seolah-olah menjadi pahlawan kesiangan, sambil kemudian menjajakan produknya, dagangannya tanpa melakukan apapun,”
Pun soal carut marut ada korupsi, kata Syari, mereka bilang korupsi terjadi karena tidak menerapkan khilafah, tapi tidak ada solusi konkrit yang mereka sampaikan. Mereka juga belum pernah berhasil melakukan apa yang mereka dengang dengungkan, termasuk di media soosial.
“Artinya apa yang mereka omongkan itu belum teruji, kalau belum teruji kita gak perlu percaya sepenuhnya. Justru kita harus curiga, kenapa hampir semua negara Islam menolak. Bahkan saat ini organsiasi-organisasi pengusung khilafah itu kantor pusatnya bukan di negara Islam,” tandas Syarif Hidayatullah.