Ibn Abbas bertanya, “Adakah alasan kalian selain ini?” Mereka menjawab, “Itu sudah cukup.”[5]
Ibn Abbas berkata, “Bagaimana menurut kalian jika aku membacakan ayat al-Qur`an dan sunnah Nabi yang akan membantah pendapat kalian, apakah kalian akan kembali [kepada barisan umat Muslim]?” Mereka berkata, “Iya.” Ibn Abbas berkata, “Mengenai perkataan kalian bahwa Ali telah menjadikan manusia memutuskan perkara [untuk mendamaikan persengketaan di antara umat Muslim], aku mendengar Allah berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu membunuh hewan buruan dalam keadaan berihram. Barangsiapa yang membunuhnya di antara kamu secara sengaja, maka dendanya adalah mengantinya dengan hewan yang seimbang dengannya, menurut putusan hukum dua orang yang adil di antara kamu,’ [QS. al-Maidah: 95]. Ini di antara hukum yang Allah serahkan putusannya kepada manusia. Jika Allah menghendaki, tentu Allah kuasa memutuskan hukumnya. Namun Allah membolehkan berhukum kepada manusia. Kalian juga tahu, dalam pertikaian antara istri dan suaminya, Allah berfirman, ‘Dan apabila kamu mengkhawatirkan perceraian antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam (penengah yang memberi putusan) dari keluarga laki-laki dan seorang penengah dari keluarga perempuan. Jika kedua hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-istri itu,’ [QS. al-Nisa`: 35]. Allah menjamin hukum manusia. Apakah ini sudah menjawab alasan kalian?” Mereka menjawab, “Ya.”[6]
Ibn Abbas berkata, “Mengenai perkataan kalian bahwa Ali berperang [melawan Aisyah dan pasukannya] namun tidak menawan tawanan dan tidak mengambil ghanîmah, Allah berfirman bahwa Nabi lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri dan istri-istri beliau adalah ibu-ibu mereka. Jika kalian menganggap Aisyah bukan ibu kalian, maka kalian kafir. Jika kalian menganggap Aisyah sebagai ibu kalian, maka tidak boleh menawannya. Apakah ini sudah menjawab alasan kalian?” Mereka menjawab, “Ya.”[7]
Ibn Abbas berkata, “Adapun mengenai perkataan kalian bahwa Ali menghapus gelar Amirul Mukminin darinya (sebagai hasil dari arbitrase), aku akan memberikan penjelasan mengenai hal itu. Kalian tentu mengetahui bahwa Nabi pada peristiwa Hudaibiyah membuat perjanjian dengan Suhail ibn Amru wakil dari kaum Musyrik. Beliau berkata kepada Ali ibn Abi Thalib, ‘Tulislah wahai Ali, ‘Ini adalah perjanjian damai yang dinyatakan oleh Muhammad Rasulullah (utusan Allah).’ Namun kaum Musyrik berkata, ‘Tidak! Andai kami percaya bahwa engkau adalah Rasulullah, tentu kami tidak akan memerangimu. Tulislah namamu dan nama ayahmu.’ Maka Nabi berkata, “Ya Allah, sungguh Engkau mengetahui bahwa aku adalah Rasul-Mu. Kalau begitu, wahai Ali, hilangkan tulisan ‘Rasulullah’. Dan tulislah, ‘Ini adalah perjanjian damai yang dinyatakan oleh Muhammad ibn Abdillah.’ Nabi lebih utama daripada Ali, tetapi beliau sendiri pernah menghapus gelar ‘Rasulullah’ dari namanya. Dan itu tidak berarti menghapus kenabian beliau. Apakah ini sudah menjawab alasan kalian?” Mereka berkata, “Ya.”[8]
Sepertiga dari mereka kembali ke barisan Ali ibn Abi Thalib, sementara sisanya tetap memberontak dan terbunuh di dalam perang.[9]
Baca Juga:
Akar Historis Kelompok Radikal di dalam Islam (2)
[1] Abu Abdillah al-Hakim al-Naisaburi, al-Mustadrak ‘alâ al-Shahîhayn (Juz 2), Kairo: Dar al-Haramain, Cet. 1, 1997, hal. 179
[2] Ibid.
[3] Ibid.
[4] Ibid.
[5] Ibid.
[6] Ibid., hal. 180
[7] Ibid.
[8] Ibid.
[9] Ibid.