Kelompok Khawarij kemudian mulai menyerang dengan meneriakkan, “Tidak ada hukum kecuali Allah. Mari dengan tenang kita menuju surga!” Perang pun terjadi, tetapi tidak berlangsung lama. Banyak dari kelompok Khawarij yang terbunuh. Hanya sedikit dari mereka yang selamat.[10]
Pembunuhan Ali ibn Abi Thalib
Ali ibn Abi Thalib terbunuh pada tanggal 17 Ramadhan tahun 40 Hijriah. Berbagai riwayat menyebutkan bahwa tiga orang dari kaum Khawarij yaitu Abdurrahman ibn Muljam, al-Burk ibn Abdillah, dan Amru ibn Bakr al-Tamimi berkumpul membicarakan persoalan umat Muslim. Mereka membahas tokoh-tokoh penyebab konflik di tengah-tengah umat Muslim. Mereka juga mengenang sahabat-sahabat mereka yang terbunuh pada perang Nahrawan. Kemudian salah seorang dari mereka berkata, “Kalau kita mengorbankan diri kita dengan membunuh para pemimpin kesesatan, tentu akan membuat tenang negeri ini!” Mereka lalu bersepakat: Abdurrahman ibn Muljam membunuh Ali ibn Abi Thalib, al-Burk ibn Abdillah membunuh Muawiyah ibn Abi Sufyan, dan Amru ibn Bakr membunuh Amru ibn al-Ash. Mereka bersumpah untuk tidak mundur dari rencana pembunuhan itu atau mereka mati. Mereka lalu mengambil pedang masing-masing, meracuninya, dan sepakat untuk melakukan kejahatan itu pada 17 Ramadhan. Kemudian masing-masing pergi ke tujuan yang telah direncanakan.[11]
Ibn Muljam pergi ke Kufah untuk melaksanakan niatnya membunuh Ali ibn Abi Thalib. Di sana ia bertemu dengan sahabat-sahabatnya dari kaum Khawarij dari suku Taim al-Rabab. Dari suku ini banyak terbunuh oleh pasukan Ali ibn Abi Thalib pada perang Nahrawan. Dan di antara suku ini terdapat seorang perempuan bernama Qutham yang ayah dan saudara laki-lakinya tewas pada perang Nahrawan. Parasnya yang cantik membuat Ibn Muljam langsung jatuh cinta pada pandangan pertama. Ibn Muljam pun langsung melamarnya, dan Qutham mengajukan tiga syarat sebagai maharnya, yaitu uang 3000 dinar, seorang budak laki-laki, dan kematian Ali ibn Abi Thalib untuk menyembuhkan kekecewaannya. Ibn Muljam berkata, “Adapun mengenai kematian Ali tak perlu kau ceritakan lagi jika kau menyukaiku.” Qutham berkata, “Baiklah, jika kau berhasil membunuhnya, maka lenyaplah dendam dalam dirimu dan diriku. Jika kau yang terbunuh, maka apa yang ada di sisi Allah lebih baik daripada dunia dan segala isinya.”[12]
Ibn Muljam menyanggupi permintaan Qutham, ia meyakinkannya bahwa ia datang ke Kufah memang untuk membunuh Ali. Qutham lalu memanggil seorang laki-laki dari sukunya bernama Wirdan untuk membantu Ibn Muljam menjalankan misinya. Ibn Muljam sendiri juga meminta bantuan seorang laki-laki dari kaum Khawarij dari suku al-Asyja’ bernama Syabib ibn Bujirah. Syabib mulanya menolak membantu Ibn Muljam karena ia mengetahui keutamaan Ali, ia berkata, “Celakalah kamu. Jika selain Ali tentu lebih mudah. Aku tahu betul mengenai ketangkasan, keunggulan, dan kegigihannya dalam membela Islam. Aku tidak menemukan alasan sehingga aku tega membunuhnya.” Ibn Muljam berkata, “Tidakkah kau tahu bahwa ia telah membunuh penduduk Nahrawan yang merupakan orang-orang saleh?” Syabib mengiyakannya. Kemudian Ibn Muljam berkata, “Karena itu kita bunuh dia untuk menuntut balas kematian sahabat-sahabat kita.” Ibn Muljam terus memotivasi Syabib sampai ia menyanggupi untuk membantunya.[13]
Malam ketujuh belas Ramadhan bertepatan dengan malam Jum’at, yaitu malam di mana Ibn Muljam dan teman-temannya sepakat untuk membunuh Ali ibn Abi Thalib, Muawiyah ibn Abi Sufyan, dan Amru ibn al-Ash. Ibn Muljam menyiapkan pedangnya, dan ia berangkat bersama Syabib dan Wirdan. Ketika Ali ibn Abi Thalib keluar dari rumahnya menuju masjid untuk mengimami shalat Subuh, saat itu ia berpuasa, dan mengajak orang-orang untuk shalat, “Wahai manusia, shalat, shalat…,” tiba-tiba Syabib dan Ibn Muljam memukulnya dengan pedang. Ibn Muljam berkata, “Hukum hanya milik Allah, bukan milikmu, dan bukan pula milik teman-temanmu.” Secepat kilat ia mengayunkan pedangnya dan menghujam tepat di kepala Ali. Kepala Ali merengkah akibat tebasan tersebut.[14]
Terdengarlah suara riuh di dalam masjid. Orang-orang cepat berlarian mendekati Ali. Wirdan terbunuh saat itu juga, sementara Syabib berhasil meloloskan diri. Orang-orang mendapati Ali tergeletak di mihrab lalu membawanya pulang ke rumahnya dalam kedaaan kepala diikat balut, sementara masyarakat dari belakang mengikuti sambil menangis.[15]
Orang-orang berhasil menangkap Ibn Muljam. Ali berwasiat kepada putra tertuanya, al-Hasan ibn Ali, juga kepada anak-anaknya yang lain serta keluarganya agar memperlakukan Ibn Muljam secara baik. Ia berkata, “Nyawa dibalas dengan nyawa. Maka, jika aku mati, kalian harus mengqisasnya. Dan jika aku hidup, aku akan mengambil keputusan sesuai dengan pertimbanganku.” Tiga hari setelah itu Ali meninggal, dan Ibn Muljam akhirnya dihukum mati.[16]
Sementara itu, al-Burk ibn Abdillah menunggu Muawiyah ibn Abi Sufyan keluar untuk melaksanakan shalat di masjid. Ketika ia melihat Muawiyah keluar ia langsung mengayungkan pedangnya dan mengenai bagian belakang (bokong) tubuh Muawiyah. Muawiyah berusaha menghalau dan berhasil merampas pedang di tangan al-Burk. Al-Burk berkata kepada Muawiyah, “Aku punya berita yang akan membuatmu senang. Tetapi jika aku memberitahukannya padamu, apakah ada untungnya bagiku?” Muawiyah berkata, “Iya.” Al-Burk berkata, “Sesungguhnya salah seorang saudaraku telah membunuh Ali malam ini.” Muawiyah berkata, “Ia tidak akan bisa membunuhnya.” Al-Burk berkata, “Tentu bisa, karena tidak ada seorang pun yang menjaga Ali.” Kemudian Muawiyah memerintahkan untuk membunuh al-Burk.[17]
Adapun Amru ibn al-Ash malam itu sedang jatuh sakit, sehingga ia tidak bisa keluar untuk menunaikan shalat di masjid. Ia menyuruh Kharijah ibn Abi Habibah, komandan pasukannya, pergi ke masjid untuk shalat bersama orang-orang. Amru ibn Bakr yang mengira Kharijah ibn Abi Habibah adalah Amru ibn al-Ash langsung menyabetkan pedangnya ke tubuh Kharijah ibn Abi Habibah sampai tewas. Amru ibn Bakr pun ditangkap dan kemudian dihukum mati. Amru ibn al-Ash bersyukur bisa selamat dari pembunuhan itu. Ia berkata, “Ia (Amru ibn Bakr) menghendakiku, tetapi Allah menghendaki Kharijah.”[18]
[1] https://nasional.kompas.com/read/2018/05/14/13533731/inilah-deretan-aksi-bom-bunuh-diri-di-indonesia?page=all
[2] Ibn Katsir, al-Bidâyah wa al-Nihâyah (Juz 10), Beirut: Maktabah al-Ma’arif, 1990, hal. 578
[3] Ibid., Juz 7, hal. 276
[4] Ibn al-Atsir, al-Kâmil fî al-Târîkh (Juz 3), Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Cet. 1, 1987, hal. 216
[5] Ibn Katsir, al-Bidâyah wa al-Nihâyah (Juz 7), Beirut: Maktabah al-Ma’arif, 1990, hal. 317
[6] Ibid., hal. 276
[7] Ibid., Juz 10, hal. 576
[8] Abdus Sattar al-Syaikh, A’lâm al-Huffâzh wa al-Muhadzdzitsîn (Juz 2), Beirut: Dar al-Syamiyah, hal. 63
[9] Ibid., Juz 1, hal. 274
[10] Ibid.
[11] Ibn Katsir, al-Bidâyah wa al-Nihâyah (Juz 7), Beirut: Maktabah al-Ma’arif, 1990, hal. 356
[12] Ibid.
[13] Ibid.
[14] Dr. Athiyah al-Qushi, ‘Ashr al-Khulafâ` al-Râsyidîn, al-Hayâh al-Siyâsîyyah wa al-Hadhârîyyah, Kairo: Dar al-Fikr al-Arabi, Cet. 1, 2007, hal. 59
[15] Ibid.
[16] Ibid.
[17] Ibid.
[18] Ibid.