Sayangnya, realitas umat hari ini sering terjebak pada paradoks: sangat rajin ibadah ritual, tetapi abai pada penderitaan di sekitarnya. Masalah kemiskinan, pengangguran, penggusuran, atau kekerasan sosial dianggap urusan pemerintah semata, bukan bagian dari praktik iman.
Masjid sebagai Pusat Gerakan Kemerdekaan
Iman yang membebaskan kemanusiaan adalah iman yang menghapus penderitaan dan ketidakadilan. Dalam sejarah, para ulama dan tokoh pergerakan Islam menjadikan iman sebagai landasan untuk melawan penindasan, termasuk para ulama di Indonesia yang menjadi garda-garda terdepan dalam mewujudkan kemerdekaan Indonesia dari penjajahan.
Iman yang merdeka dan memerdekaan hari ini harus menjadi praktek gerakan sosial. Ibadah sosial seperti menolong fakir miskin dan menegakkan keadilan adalah bentuk ibadah yang sama tingginya dengan shalat dan puasa, karena semua itu bertujuan menegakkan kemaslahatan manusia.
Lihatlah bagaimana masjid pada masa Nabi adalah pusat ibadah sekaligus pusat pelayanan sosial, pendidikan, dan advokasi. Kini, jurang antara masjid dan masyarakat semakin lebar. Banyak rumah ibadah ramai oleh ritual, tetapi sepi dari program nyata yang membebaskan warga sekitar dari kebodohan, kemiskinan, dan ketidakadilan.
Masjid sebagai “Rumah Tuhan” harus menjadi pusat gerakan kemerdekaan iman dan sosial. Masjid harus menjadi episentrum syiar ritual dan kemerdekaan sosial. Banyak hal yang perlu diberdayakan dari masjid yang hari ini hanya menjadi pintu shalat dan dizkir. Masjid harus memperbanyak program-program kemanusiaan yang mendorong kemerdekaan sosial masyarakat sekitarnya.
Jika ingin menghidupkan kembali iman yang merdeka dan memerdekakan kemanusiaan, umat Islam harus menjadikan QS. Al-Baqarah: 177 sebagai pedoman utama. Iman bukan hanya untuk dikenang dalam doa, tetapi untuk diwujudkan dalam aksi nyata yang mengangkat derajat sesama manusia.