Mengapa Islamisme tumbuh subur di beberapa belahan dunia?
Yilmaz (2010) menganalisis kehadiran Hizbut Tahrir (sebagai salah satu organisasi yang merepresentasikan gerakan Islamisme) di empat negara; Inggris, Uzbekistan, Mesir dan Turki. Kesimpulannya, di dua negara pertama, Hizbut Tahrir menuai keberhasilan, sementara sisanya menemukan jalan buntu. Ia mengajukan dua faktor sebagai unit bacaan; struktur politik dan teologis.
Meski Uzbekistan adalah negara dengan mayoritas muslim, namun, kecakapan pengetahuan tentang Islam sesungguhnya tidak cukup kuat mengakar di masyarakat tersebut. Pengetahuan keagamaannya tidak didapatkan dari lembaga pendidikan Islam yang kuat.
Disini, ada masalah yang berkaitan dengan teologi. Situasi ini digenapi oleh masalah jati diri atau identitas bangsa ini yang terus masih dalam pencarian setelah bubarnya Uni Soviet.
Di lain sisi, ada masalah sosial serta ekonomi yang kemudian dimanfaatkan oleh kelompok Islamis sebagai agenda kampanye politik. Bahwa, Islam memiliki solusi yang komprehensif atas semua masalah yang mendera Uzbekistan.
Dari aspek sosial dan ekonomi, situasi di Uzbekistan mirip dengan Mesir. Bedanya, di Mesir tidak ada “kekosongan teologis.” Karenanya, Hizbut Tahrir tidak cukup mendapatkan pengaruh, meski, tentu saja, gerakan Islamis tidak benar-benar hilang.
Turki memiliki kesenyawaan dengan Mesir. Disana, Hizbut Tahrir juga tidak cukup kuat. Disana, islamis terintegrasi dalam sistem demokrasi. Ditambah dengan banyaknya universitas agama serta lembaga pendidikan agama yang otoritatif. Sebangun dengan Turki adalah Inggris.
Masalahnya, di Inggris ada kekososngan teologis dan kemudian menghadirkan isu politik identitas dengan isu kelompok muslim sebagai kelompok yang didiskriminasi. Karenanya Hizbut Tahrir relatif berkembang disana.
Oleh: Tedi Kholiludin
Peneliti di Yayasan Lembaga Studi Sosial dan Agama [ELSA] Semarang