Salah satu tantangan terberat ditengah kompleksitas kehidupan saat ini yaitu bagaimana seorang penganut agama mampu memposisikan dirinya dengan tepat ditengah keragaman, terlebih di tengah kencangnya arus global sehingga pergaulan antar umat beragama tidak lagi memiliki sekat. Berbicara tentang keberagaman, Indonesia sebagai negara majemuk dengan beraneka ragam suku, budaya, etnis, bahasa, dan agama yang tidak ada tandingannya di dunia, di mana tercatatat hampir ratusan bahkan ribuan suku, bahasa dan aksara daerah serta kepercayaan lokal di dalamnya. Tapi nyatanya keadaan ini justru menyulut munculnya gesekan-gesekan dalam mengelolah keberagaman tersebut.
Beberapa dekade ini, salah satu bentuk ancaman terbesar yang sedang mengintai negeri kita adalah konflik berlatar belakang agama. Terutama aksi-aksi yang dihiasi kekerasan. Di Indonesia sendiri dalam kurun waktu 12 tahun terakhir, Setara Institute mencatat telah terjadi 2.400 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan (Tempo, 11/11/19). Selain itu dalam sebuah artikel yang ditulis oleh Golda Aska yang dimuat di Media Indonesia, Selasa 07 Januari 2020, Setara Institute mencatat sepanjang periode pertama pemerintahan Presiden Joko Widodo sejak November 2014-Oktober 2019 telah terjadi 846 peristiwa pelanggaran KBB (Kebebasan Beragama) dengan 1.060 tidakan. Berarti jika dirata-ratakan terjadi 14 peristiwa dengan 18 tindakan KBB tiap tindakan.
Peristiwa-peristiwa kekerasan yang mengatasnamakan agama biasanya disulut oleh adanya distorsi dalam memahami kitab suci. Ini senada dengan pendapat Charles Kimbal dalam bukunya When religion Because Evil. Dalam buku tersebut Kimbal mengatakan suatu agama akan menjadi bencana ketika seseorang keliru memahami kitab suci. Akibatnya akan menciptakan pribadi yang cenderung eksklusif. Penganut beragama yang cenderung tertutup tidak menutup kemungkinan akan sulit menerima dan bersosialisasi dengan lingkungan sekitar. Serta yang paling di takutkan jika sikap ini akan melahirkan perilaku radikal dalam memperkenalkan agama di lapisan masyarakat.
Seolah-olah peran agama sebagai rahmatan lil ‘alamin dan pemersatu bangsa telah bermetamarfosis menjadi sesuatu yang paradoks atau multi wajah. Bahkan di era teknologi informasi ini memicu munculnya bibit-bibit radikalime. Survei yang dilakukan oleh UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta awal 2019 menunjukkan bahwa 10 % kelompok muda muslim yang setuju dengan tindakan kekerasan atas nama agama karena terpapar konten radikal melalui media sosial. Bahkan, 10 tahun silam survei yang dilakukan oleh Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LAKIP) menunjukkan 52% pelajar setuju dengan aksi radikalis. Dan lagi, sumber yang memapar mereka adalah media sosial berkonten radikal.
Untuk mengembalikan marwah agama sebagai pelindung, petunjuk, pelopor perdamaian serta pemersatu bangsa perlu adanya usaha-usaha dari pemuda dalam bahu-membahu membangun Indonesia dan menjunjung nilai kesatuannya. Sebagai calon Nahkoda yang menentukan arah bangsa sudah sepantasnya menjamin kerukunan umat beragama dengan memulai sejak dini menerapkan dan menyebarkan konsep moderasi beragama.
Moderasi beragama dapat di jadikan konsep yang penting untuk memberikan pemahaman yang komprehensif mengenai nilai kesatuan. Dengan memanfaatkan media sosial dalam menyebarkan paham moderasi beragama sebagaimana diketahuai kaum milenial hampir seluruhnya membangun dunia baru di media sosial. Sadar maupun tidak media sosial dapat mempengaruhi karakter maupun perilaku seseorang.
Solusi yang kiranya cukup menjawab polemik cara beragama di Indonesia adalah melalui pendekatan moderasi beragama. Berarti dalam beragama seseorang tidak boleh ekstrem pada pandangannya melainkan harus selalu mencari titik temu. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menyediakan dua pengertian kata moderasi, yakni: 1. n pengurangan kekerasan, dan 2. n penghindaran keekstreman. Jadi jika dikatakan, orang itu bersikap moderat, kalimat itu berarti bahwa orang itu bersikap wajar, biasa-biasa saja, dan tidak ekstrem.
Di tengah arus modernisasi, bentuk perubahan di dunia realitas dan dunia maya merupakan sesuatu yang lumrah. Maka perlu adanya peran pemuda Indonesia untuk mengambil bagian dalam perubahan ini. Semisal berinovasi membuat komunitas/organisasi yang berbasis online. Dalam komunitas/organisasi tersebut perlu adanya penataan yang sama dengan komunitas/organisasi di dunia nyata. Seperti adanya struktur kelembagaan yang terdiri dari ketua, sekretaris, bendahara, kordinator perdivisi dan anggota.
Komunitas/organisasi berbasis online ini bisa kita memanfatkan khusus untuk mengedukasi penduduk dunia maya terkait konsep moderasi beragama. Divisi Syiar misalnya diamanahkan membuat sebuah konten dan quotes yang berbau moderasi beragama setiap minggunya. Saat ini konten dan quotes merupakan sajian yang membumim di media sosial, Bahkan bisa mempengaruhi psikologi seseorang. Contohnya saja ketika seseorang menonton video di Fecebook, Instagram, youtube, dll., seseorang tanpa sadar menangis, tertawa dengan apa yang media sosial sajikan. Bahkan kadang kala yang disajikan oleh media sosial dikonsumsi habis-habisan tanpa memilahnya terlebih dahulu.
Selain membuat quotes/konten perlu juga mengadakan sebuah kajian/sekolah online dengan menghadirkan pemateri yang berkompeten membahas tuntas terkait moderasi beragama. Kajian/sekolah online dapat di jadikan sebagai wadah dalam membuka cakrawala pemikiran kita. Akan lebih elok lagi jika membuat sebuah blog yang berisi tulisan-tulisan yang menyebarkan perdamaian dan pentingnya menjaga persatuan. Selain itu kita bisa menulis konsep beragama orang-orang Indonesia, tidak hanya agama Islam tapi agama Kristen Protestan, Kristen Katolik, Koghucu, Buddha, Hindu, Baha’I, Penghayat Kepercayaan Budidaya dll. Tulisan-tulisan tersebut bisa menjadi momentum untuk mengenal agama di luar yang kita yakini. Karena pada dasarnya semua agama mengajarkan kebaikan dan kedamaian.
Dalam hemat penulis, pemanfaatan media sosial dalam membangun komunitas/organisasi berbasis online ini sangat efektif untuk menjalin hubungan yang harmonis dengan berbagai penganut umat beragama di Indonesia. Hal ini dipicu semakin meningkatnya pengguna media sosial. Di Indonesia sendiri riset yang dirilis pada akhir 2020 menyebutkan jumlah pengguna Internet di Indonesia sudah mencapai 175,4 juta orang, sementara total jumlah penduduk Indonesia sekitar 272,1 juta. Dibanding tahun 2019 lalu, jumlah pengguna internet meningkat 17 persen atau 25 persen pengguna. Indonesia juga punya pencapaian lain dalam jumlah pengguna media sosial. Masih dari riset yang sama, jumlah pengguna media sosial di Indonesia sudah mencapai 160 juta, meningkat 8,1 persen atau 12 juta pengguna di bandingkan tahun lalu. Dengan begitu, penetrasi penggunaan media sosial di Indonesia sudah mencapai 59 persen dari jumlah penduduk.
Dapat dibayangkan betapa fantastis jumlah pengguna media sosial di Indonesia. Jika ini hanya dimanfaatkan sebagai wadah meyebar hoax, hiburan semata, curhat sana-sini, maka merugila kita sebagai pemuda bangsa yang menyia-nyiakan kesempatan diusia muda yang seharusnya menjadi tonggak pemersatu bangsa.
Disinilah peran kita sebagai pemuda, pemuda harus menyadari bahwa perubahan dan kebangkitan negeri ini menuju istana kejayaan hanya akan terjadi jika kekuatan pemuda dan rakyatnya bersatu padu, karena tanpa keterpaduan pemuda dan rakyatnya akan sulit baginya memberikan perubahan dan kebangkitan negeri untuk menuju istana kejayaan. Tentu salah satu jalannya yaitu saling menghargai keyakinan siapapun tanpa memandang apapun. Mampu memanfaatkan segala kesempatan agar menciptakan inovasi-inovasi baru. Pemuda adalah harapan bangsa, pemuda memiliki peran bagi kebangkitan bangsa.
Oleh karenanya, penulis berharap solusi yang kami berikan dapat menjadi momentum kebangkitan pemuda. Memanfatkan segala sarana untuk memperkuat persatuan bangsa, karena pada hakikatya Indonesia adalah negara multikultural. Indonesia butuh kekuatan, dan kekuatan itu hadir jika masyarakatnya hidup harmonis. Keharmonisan itu lahir jika tercipta kerukunan antar umat beragama. Serta kerukunan antar umat beragama dapat tercipta jika konsep moderasi beragama di pahami dengan baik. Maka dari itu mari bersatu menuju Indonesia kuat dan berkemajuan.