Acap kali kita membaca ataupun mendengar sebuah narasi atau pun opini, yang mengidentikkan agama dengan kekerasan. Apakah opini seperti ini dapat kita amini dan diterima dengan begitu saja?
Benarkah agama selalu identik dengan hal-hal yang berbau kekerasan?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, saya ingin menukil sebuah tulisan dari Habib Ali al-Jufri dalam bukunya yang berjudul Kemanusiaan Sebelum Keberagamaan (Jakarta Selatan: Noura Books, 2020).
Habib ali al-Jufri berkata:
“Kita perlu kembali ke rasa kemanusiaan kita sehingga keberagamaan kita menjadi baik. Keberagamaan kita harus terpusat pada hati sehingga rasa kemanusiaan kita hidup kembali. Semua delusi hilang, lalu kita kembali sepenuhnya ke Allah. Kita harus menghilangkan hal-hal selain Allah seperti “saya”, ego diri, keserakahan, kesombongan, mencari reputasi, serta suka kemasyhuran dan status.”
Dari pesan yang disampaikan oleh cicit Nabi tersebut ialah, agama bukanlah menjadi dasar dari kekerasan yang selama ini diberitakan. Karena, agama dan kemanusiaan saling memiliki ikatan. Karena yang menyebabkan kekerasan ialah ego dari manusia yang berubah menjadi kekerasan untuk menunjukkan eksistensinya.
Di sini, saya juga ingin mengulas sedikit keterkaitan agama dan sejarah kekerasan yang telah dirangkum oleh Prof. Azyumardi Azra dalam bukunya Transformasi Politik Islam Radikalisme, Khilafatisme, dan Demokrasi (Jakarta: Prenadamedia Group, 2016).
Sketsa Biografi Azyumardi Azra
Prof. Dr, Azyumardi Azra, CBE, merupakan salah satu cendekiawan muslim asal Indonesia. Ia lahir pada 4 Maret 1955 di Lubuk Alung Sumatera Barat. Ia merupakan anak ketiga dari enam bersaudara dari pasangan Azikar dan Ramlah.
Dilahirkan di keluarga yang sederhana, ayahnya merupakan seorang tukang kayu, pedagang kopra, dan cengkih. sedangkan ibunya berprofesi sebagai guru. Namun, orang tuanya bercita-cita agar anaknya dapat bersekolah.
Setelah menyelesaikan pendidikannya mulai dari Sekolah Dasar sampai Sekolah Menengah Atas di Padang, ia melanjutkan ke perguruan tinggi di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Motivasinya untuk merantau ke Jakarta karena berbagai pertimbangan darinya yaitu situasi yang kondusif untuk menuntut ilmu. Juga, begitu banyaknya putra asal Minang yang pergi merantau ke Jakarta yang memiliki nama besar, di antaranya Muhammad Natsir, Buya Hamka, nama-nama lainnya.
Setelah lulus dari IAIN Jakarta, pada tahun 1992 ia memperoleh gelar M.A. (Kajian Timur Tengah) di Colombia University, New York, Amerika Serikat. Lalu, pada tahun 2005 ia memperoleh gelar DR. HC. dalam humane letters dari Carroll College, Montana, USA. Ia juga memperoleh gelar guru besar kehormatan Universitas Melbourne.
Ia sangat aktif dalam menuangkan gagasannya dalam bentuk tulisan, lebih dari 36 buku yang telah ditulis olehnya. Beberapa bukunya antara lain Indonesia, Islam and Democracy: Dynamic in a Global Context (Jakarta & Singapura, TAF, ICIP, Equinox-Solstice, 2006); Islam in the Indonesia World: An Account of Institutional Development (Mizan Internasional: 2007), Islam Beyond Conflict: Indonesian Islam and Western Political Theory (London: Ashgate: 2008), dan karya-karya lainnya.
Melihat Relasi antara Agama dan Kekerasan
Azyumardi Azra dalam tulisannya dengan mengutip pandangan Karen Amstrong dalam bukunya Fields of Bloods, yang pada intinya bahwa di Barat pandangan yang menjustifikasi agama telah mengajarkan kekerasan diterima dengan begitu saja (takern for granted) dan ini nyata.