Pengawasan terhadap kelompok-kelompok terduga teroris ini dalam perspektif Popper dan Rawls tidak bisa dilihat sebagai pembatasan hak berekspresi, tetapi dalam rangka mengantisipasi intoleransi dan ancaman massif terhadap esensi kemanusiaan yang jamak digaungkan oleh kelompok radikal terorisme. Melalui upaya ini, cita-cita kehidupan plural yang harmonis di Indonesia menjadi mudah untuk diwujdukan.
Urgensi Narasi Tandingan dan Kontra Radikalisasi
Popper dalam buku yang sama, mengatakan bahwa kelompok toleran tidak perlu memberantas gagasan-gagasan intoleran. Yang perlu dilakukan adalah melakukan kontra narasi yang masuk akal, terukur, dan rasional. Narasi-narasi itu akan dibiarkan berkontestasi di ruang publik dan akan dievaluasi sendiri oleh masyarakat.
Namun dalam kebangsaan, kebijakan top down menjadi sama pentingnya dengan strategi bottom up dalam konteks pencegahan radikal terorisme. Artinya, negara memiliki kewenangan untuk mengatasi lahirnya sel-sel intoleransi dan radikalisme baru di Indonesia melalui kebijakan-kebijakan strategisnya. Di waktu yang sama, seperti kata Popper, kontra narasi yang terukur dan rasional juga perlu diproduksi secara intensif. Produksi kontra narasi ini yang kemudian dapat diperankan oleh masyarakat sipil di akar rumput.
Namun, yang perlu diperhatikan adalah bahwa masyarakat yang mengaku toleran harus berhati-hati dalam membatasi intoleransi dan memahami sekat antara tindakan intoleransi yang berbahaya dan perbedaan pandangan yang niscaya, meskipun kontroversial. Popper dan Rawls sepertinya sepakat bahwa memiliki perspektif yang berbeda tentang agama dan politik harus ditoleransi dalam masyarakat, kecuali jika satu kelompok politik atau agama menambahkan bumbu kebencian, tendensi mempersekusi, dan mengancam prinsip kemanusiaan.
Tidak berpendapat merupakan bagian dari kebebasan berpendapat. Ketika ada orang yang tidak ingin berpendapat akan sesuatu, maka sah-sah saja. Tetapi jangan sampai kebebasan berpendapat menjadi senjata untuk memaksa orang lain berpendapat. Jika masyarakat toleran masih samar dengan perbedaan itu, mereka akan rawan terjebak dengan prinsip intoleransi itu sendiri, suka memaksakan kehendak dan menganggap yang tidak sependapat sebagai pihak yang salah.
Akhirnya untuk menutup bahasan paradoks toleransi ini, kita bisa sedikit berpikir, jika kita mengetahui bahwa ada seseorang yang berencana mencelakai kita, meskipun itu masih dalam ranah ide (niat), apakah kemudian kita hanya membiarkan saja atas nama toleransi, atau berusaha melindungi diri dan berusaha melenyapkan rencana orang itu?
Daftar Pustaka
Alamsyah Dja’far. (2018). (In)toleransi: Memahami Kebencian & Kekerasan Atas Nama Agama. Jakarta: Elex Media Komputindo.
BBC. (2022). Negara Islam Indonesia, mengapa disebut jadi ‘ibu kandung’ kelompok terorisme di Indonesia? https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-61057509, diakses pada 26 Desember 2023.
Cornelis Van Dijk. (1981). Rebellion under the banner of Islam. Leiden: Martinus Nijhoff.
John Rawls. (1999). A Theory of Justice. United States: Harvard University Press.
Karl R. Popper. (2002). The Open Society and Its Enemies. London: Routledge.
Rohir Mahatir Manese. (2021). Pembatasan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia dan Implikasinya. Societas Dei: Jurnal Agama dan Masyarakat, 08(1), 86-107.