Langkah ini dilakukan untuk menjaga keaslian Al-Qur’an setelah banyak penghafal Al-Qur’an wafat di medan perang. Pengumpulan ini merupakan inovasi yang tidak ada pada masa Nabi, tetapi sangat penting dalam menjaga keberlangsungan wahyu.
Kedua, Penyusunan Hadis: Ilmu musthalah hadis (ilmu tentang kritik hadis) disusun oleh para ulama generasi berikutnya untuk memverifikasi keaslian hadis-hadis Nabi. Sistem klasifikasi ini, seperti sahih, hasan, dan dhaif, tidak ada pada masa Nabi, tetapi sangat penting dalam menjaga otentisitas ajaran Islam. Di masa Nabi, hadist tidak boleh ditulis karena takut dianggap dan tercampur dengan ayat al-Quran.
Ketiga, Shalat Tarawih Berjamaah. Shalat Tarawih pertama kali dilaksanakan oleh Nabi Muhammad SAW secara berjamaah, lalu kemudian dilakukan secara sendiri di rumah masing-masing. Pada masa Khalifah Umar bin Khattab RA, tarawih dilakukan secara berjamaah yang menghidupkan malam-malam Ramadan.
Praktik Jamaah Tarawih saat ini menjadi tradisi yang diterima dan masih berlangsung hingga saat ini di berbagai negara. Jamaah Tarawih menjadi salah satu syiar Islam di bulan suci Ramadan.
Keempat, Perayaan Isra’ Mi’raj. Isra’ Mi’raj, peristiwa perjalanan malam Nabi Muhammad SAW dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa dan naik ke Sidratul Muntaha, adalah salah satu mukjizat besar dalam sejarah Islam. Perayaan untuk memperingati Isra’ Mi’raj sebagai bentuk mengenang peristiwa tersebut tidak ada pada masa Nabi. Namun, di berbagai negara Muslim, peringatan ini menjadi momen untuk mengingat kebesaran peristiwa tersebut, memperkuat keyakinan akan mukjizat Nabi, dan meningkatkan semangat religius umat.
Tentu masih banyak lagi tradisi inovatif lainnya. Tradisi-tradisi yang dianggap sebagai bid’ah tersebut memiliki kontribusi besar dalam menjaga, menyebarkan, dan menghidupkan semangat Islam. Inovasi-inovasi ini, meskipun tidak diajarkan langsung oleh Rasulullah, memberikan manfaat yang signifikan dalam perkembangan spiritual dan sosial umat Islam di seluruh dunia.
Dengan demikian, bid’ah yang tidak bertentangan dengan prinsip syariat, bahkan dapat memperkaya tradisi Islam, seharusnya dipahami dalam konteks niat dan tujuannya—apakah memberikan kebaikan atau sebaliknya.