Dalam pandangan sebagian besar masyarakat Indonesia, pesantren adalah tempat terbaik mendidik anak untuk memahami ajaran Islam. Image tersebut tidak lahir dari branding pemasaran perusahaan-perusahaan besar, melainkan dari rekam jejak sejarah. Bahwa pesantren telah menjadi pusat penyebaran pemahaman Islam ahlussunnah wal jamaah. Tak hanya itu, pesantren juga menjadi jangkar perlawanan terhadap kolonialisme dan wawasan kebangsaan.
Namun belakangan ini, nama baik pesantren berulang kali dinodai oleh kelompok-kelompok tertentu. Mereka tampaknya sengaja melabeli lembaganya dengan sebutan pesantren. Dengan label pesantren tersebut, mereka bukan hanya mendapatkan image yang bagus, tetapi juga mendapatkan berbagai privilege. Sebagai lembaga yang tumbuh dan berkembang di masyarakat, negara “memberi jarak” kepada pesantren. Pasalnya, pesantren bukan sekedar lembaga Pendidikan. Kiai di pesantren tak seperti kepala sekolah yang mengenal jam kantor dan selalu terikat dengan sekolah. Kiai di pesantren tak hanya menjadi figure utama di pesantren tetapi juga di masyarakat sekitarnya.
Yang belakangan ini ramai adalah “pesantren” al-Zaytun di Indramayu. Lembaga yang diasuh oleh Panji Gumilang itu memang memiliki gedung megah dengan luas area total 1.200 hektar. Al-Zaytun menjadi magnet sehingga ada ribuan orang yang mengirimkan anaknya ke al-Zaytun untuk belajar. Lembaga ini dituliskan dalam websitenya (https://www.al-zaytun.sch.id) berdiri pada tahun 1993 dan diresmikan langsung oleh Presiden RI ketiga, BJ. Habibie.
Al-Zaytun kini sedang digugat oleh masyarakat karena dianggap menyebarkan pemahaman sesat. Pidato-pidato Panji Gumilang dan kesaksian alumni serta temuan sejumlah peneliti menjadi buktinya.
Ini bukan kali pertama menjadi kontroversi; baik Panji Gumilang sendiri maupun al-Zaytun. Tak lama setelah menerima siswa baru, al-Zaytun langsung menuai kontroversi.