Dengan berbungkus nama “pesantren”, para pejabat negara tidak cukup “bernyali” untuk menghadapi al-Zaytun. Jika saja itu terjadi di sekolah biasa, maka negara biasanya gercep (gerak cepat). Karena itu, hal pertama yang perlu dilakukan adalah lepaskan atribut pesantren dengan al-Zaytun. Dengan kata lain, kita tak boleh menyebut al-Zaytun dengan pesantren.
Argumentasinya jelas, bertentangan dengan Undang-Undang No 18 tahun 2019. Dalam UU tersebut disebutkan bahwa salah satu ciri utama pesantren adalah Islam rahmatan lil alamin. Ajaran-ajaran yang disebarluaskan oleh al-Zaytun ini bertentangan dengan nilai Islam rahmatan lil alamin yang menjadi keyakinan sebagian besar umat Islam di Indonesia.
Melepas atribut “pesantren” kepada Lembaga-lembaga yang bertentangan dengan semangat UU Pesantren tersebut perlu dilakukan, baik dalam pencatatan sistem data maupun pelabelan yang diberikan oleh masyarakat.
Hal yang sama juga berlaku kepada pesantren-pesantren yang terindikasi teroris. Tahun 2022, BNPT menemukan 198 lembaga bernama Pesantren yang terafiliasi dengan teroris. Sejauh negara dan masyarakat menyebut lembaga-lembaga tersebut sebagai pesantren, maka keberanian untuk menindak lembaga tersebut ciut.
Mengapa? Karena masyarakat terlanjur demikian percaya kepada pesantren. Ideologi tak pernah terlihat, sehingga ideologi yang bersemayam di lembaga-lembaga yang dinamai pesantren tersebut tak terlihat pula. Yang tampak adalah bangunan megah dan tampilan website yang keren.