Karena itulah, dalam dekonstruksi, sebagaimana digagas oleh Derrida dikenal konsep différance, sebuah istilah yang menegaskan bahwa makna itu selalu tertunda dan berbeda-beda tergantung konteksnya. Apa yang kamu pahami dari satu kalimat, bisa jadi berbeda dengan pemahaman orang lain—dan itu bukan kesalahan, tapi kenyataan komunikasi yang normal.
Misalnya, kata “radikal” bisa memiliki banyak makna sesuai konteksnya dan relasi kuasa yang ada di belakangnya. Radikal bisa berarti orang yang berpikir mendalam, pejuang keadilan, pengacau, atau bahkan teroris. Makna yang tertunda yang dan beragam ini tergantung pada konteks seperti apa, siapa yang berbicara dan tujuan apa dari narasi tersebut.
Contoh lain, kata “sistem negara islami” bisa memiliki banyak mana sesuai konteks dan pandangan yang beragam sesuai kepentingan di belakangnya. Sistem negara Islami bagi kelompok tertentu berarti menerapkan Islam sebagai ideologi negara, bagi yang lain bisa berarti menerapkan norma syariat Islam, atau bagi yang lain bisa berarti negara dengan sistem yang ada dengan prinsip syariat Islam.
Pada akhirnya, dekonstruksi mengajarkan kepada kita agar menjadi rendah hati di hadapan informasi. Kalian tidak perlu terjebak pada relativisme dengan mengatakan semua benar, tetapi juga harus menolak absolutism dengan mengatakan hanya satu yang benar.
Dalam dunia yang penuh hoaks, propaganda, dan framing media, pendekatan Derrida ini adalah alat penting untuk tetap waras dan adil berpikir. Ketika siapa saja bisa jadi “influencer”, dan satu video bisa membuat opini publik dalam hitungan menit, kita perlu lebih dari sekadar literasi digital, tetapi butuh kesadaran dekonstruktif—kemampuan untuk membaca dengan tajam, mendengar dengan hati-hati, dan berpikir dengan nuansa merdeka.
Dekonstruksi mengajak kita untuk tidak tergesa-gesa menelan “kebenaran”. Di dunia digital, kita tidak hanya ditantang untuk mencari informasi, tetapi juga memahami bagaimana informasi itu dibentuk dan disebarkan, siapa yang bermain dalam kepentingan narasi itu dan apa tujuannya.
Maka berpikir dekonstruktif sangat relevan dalam konteks kehidupan dunia digital yang dikendalikan oleh kebenaran algoritmik ini. Kebenaran yang kadang hanya diukur dengan 1 menit yang viral. Kadang orang bisa dicap jahat dan suci hanya karena satu cuplikan video. Dekonstruksi mengingatkan bahwa teks atau potongan video tidak bisa mewakili keseluruhan makna, dan perlu ditinjau dalam konteks lebih luas.
Dekonstruksi adalah alat berpikir untuk menghadapi banjir informasi, untuk melawan kesempitan cara pandang, dan untuk menjaga agar pikiran kita tetap terbuka dan merdeka terhadap kemungkinan, terhadap perbedaan, dan terhadap kompleksitas.