rezim kebenaran kita artikan sebagai “sistem kekuasaan algortitmik dan sosial yang mengatur, memproduksi dan menyebarkan narasi-narasi tertentu sebagai kebenaran”.
Di era digital seperti saat ini, kita tidak lagi mencari informasi, tetapi informasi yang justru mencari kita. Suguhan lautan informasi dari berbagai platform media sosial membanjiri lini masa kita. Ada yang viral dianggap sebagai kebenaran, ada pula yang menegangkan dan mencekam, seolah sesuatu di luar sana juga menghantui kehidupan nyata kita.
Apa yang kita tidak sadari sebenarnya, di era digital ini ada rezim yang mengendalikan cara kita berpikir, bersikap dan menilai sesuatu. “Rezim kebenaran” media sosial telah mencengkram akal sehat anak-anak muda yang sedang terihipnotis dengan idola-idola dan nabi-nabi baru di media sosial. Ada yang seolah mencerahkan dan selalu meneriakkan akal sehat, tetapi sejatinya telah bekerja secara sistematis membungkam akal sehat itu sendiri.
Rezim ini bekerja dengan cara kebenaran yang dikonstruksi, disebarluaskan dan dilegitimasi sebagai kebenaran tunggal bukan berdasarkan validitas ilmiah, standar etika dan kepentingan publik, melainkan berdasarkan kekuasaan algoritma, popularitas dan afiliasi emosional.
Rezim Kebenaran sebagai Jebakan
Saya meminjam istilah seksi dari Foucault tentang rezim kebenaran (truth regime) untuk memotret adanya mekanisme kekuasan tertentu yang dianggap benar dan salah. Kebenaran sejatinya tidak netral, tetapi dibentuk oleh relasi kuasa, institusi dan media yang mendukungnya.
Dalam konteks media sosial di era digital ini, rezim kebenaran kita artikan sebagai “sistem kekuasaan algortitmik dan sosial yang mengatur, memproduksi dan menyebarkan narasi-narasi tertentu sebagai kebenaran”. Standarnya bukan pada rasionalitas, fakta dan kajian ilmiah, tetapi logika viralitas, engagement, dan kedekatan emosional.
Setiap scroll, klik, dan suka di media sosial akan direkam oleh algoritma, lalu disajikan kembali kepada kita dalam bentuk konten yang mirip dengan apa yang kita sukai. Inilah yang disebut dengan filter bubble, sebuah mekanisme gelembung informasi yang dibentuk oleh kecenderungan pribadi pengguna. Kita hanya disuguhkan narasi yang sudah kita percayai, dan pelan-pelan informasi dari luar pandangan itu menjadi tak terlihat, atau bahkan dianggap musuh yang harus dijauhi.
Inilah cara kerja rezim kebenaran menebar jala jebakan kebenaran di media sosial. Bukan karena ia menyembunyikan informasi, tetapi karena ia hanya menyajikan satu sisi informasi secara berulang-ulang.
Ketika seseorang sering menyukai konten religius konservatif, misalnya, maka algoritma akan terus menayangkan konten-konten serupa. Begitu pula dengan konten konspiratif, ideologis, bahkan ekstrem. Akhirnya, kita merasa “inilah satu-satunya kebenaran,” padahal yang kita lihat hanyalah pantulan dari preferensi pribadi, bukan realitas yang utuh.
Rezim kebenaran pada akhirnya bekerja dengan standar kebenaran berbasis algoritma dengan tidak menyajikan informasi secara merata, menguatkan emosi bukan kekuatan fakta dan menyajikan doktrin bahwa yang viral dan popular adalah sumber kebenaran.
Di sinilah, Saya merasa penting untuk menyitir salah satu bagian pemikiran Jacques Derrida, seorang filsuf Prancis yang dikenal dengan gagasan dekonstruksi untuk dijadikan pisau dalam membedah ilusi rezim kebenaran. Derrida akan mengajak kita untuk membongkar cara kerja narasi dan makna yang dibentuk oleh rezim kebenaran.